Kepada Bang Jhoe….!
Apa kepentingan menulis ini? Pertama semacam upaya untuk mendebatkan ide dan gagasan secara lebih substansial, jauh dari debat politis. Yang kedua, menyelamatkan ide dan gagasan itu sendiri.
Budaya kritik memang tumbuh dengan baik di masa kepemimpinan Sang Capten Ali Ibrahim-Muhammad Senen, artinya demokrasi kita sedang bersemayam di rahim yang tepat. Sayangnya kuantitas kritik yang meningkat tak diikuti dengan ketinggian ilmu mengkritik (zero quality). Kita terjebak pada soal itu itu saja, semisal kritik dibangun atas dasar sentimen semata, penuh aromah kemarahan dan paling parah lagi basis kritik karena pilihan politik yang berbeda (tidak secara ideologis), sehingga terkesan mengabaikan hal-hal baik yang mestinya juga diberi apresiasi. Jika perang kritik tercipta secara ideologis maka bukan tidak mungkin kita akan memanen buah demokrasi (pemimpin) yang manis sekali karena demokrasi berkembang begitu sehat.
Jam 3 pagi, sebuah pesan dikirim lewat group WA, isinya tulisan Bang Jhoe, atau paling pas saya sebut penggalan-penggalan pikiran hasil dari memenggal pikiran-pikiran Sang Capten dalam sebuah berita. Semua orang akan kesulitan menakar sebuah pikiran hanya dari membaca 1 berita ‘straight news’ tetapi tidak dengan Bang Jhoe, beliau tampak lugas memaparkan ke pembaca kelemahan pikiran Sang Capten dalam berita itu, Bang Jhoe mencoba membangun intepretasi atas ide dan gagasan yang ditangkap dari angle berita si wartawan. Andai saja Bang Jhoe memakai ‘depth news’ sebagai bahan, kekeliruan menakar pikiran Sang Capten akan sangat mungkin diminimalisir.
Pikiran Bang Jhoe yang ditulis dengan tergesa-tergesa (menurut saya) kemudian jadi bahan untuk memprovokasi situasi politik (kebetulan Sang Capten adalah petahana) di Tidore Kepulauan. Meski pointnya tak bertamba karena tak ada pikiran yang menguatkan argument Bang Jhoe, baik dari pikiran pendukung oposisi maupun pendukung petahana, selain tarik menarik emosi, buntutnya debat kusir yang tak berkesudahan. Oh betapa meruginya karena kita kehilangan kuota internet dengan sia-sia.
Intronya selesai, kita balik ke pokok bahasan.
Saya secara pribadi menyarankan kepada Bang Jhoe untuk membaca 2 buku terbaru, satu karya Susy ONG ‘Seikatsu Kaizen’ dan satunya lagi, penelitian panjang Daron Acemoglu dan James A. Robinson yang dibukukan dengan judul ‘Why Nations Fail’. Buku pertama; Akan memperlihatkan kepada kita bagaimana Jepang berhasil membangun Industri, membangun bisnis dan sektor jasanya, sehingga hari ini mampu menyumbang 2 kota dengan PDB tertinggi di dunia. Saat Jepang jatuh akibat kalah perang dan depresi ekonomi tahun 1945, tak ada yang percaya mereka akan mampu bangkit sehebat ini, hampir seabad lebih Jepang harus mencicil kemajuan masa depannya. Jepang merupakan salah satu negara dengan kesenjangan ekonomi dan kesenjangan sosial paling kecil antara kota satu dengan kota lainnya hari ini. Buku kedua; Menyampaikan informasi ke kita lewat sekelumit penelitian di puluhan negara, bahwa kesejateraan sebuah bangsa maupun daerah bukan ditentukan oleh letak geografis, luas teritorial, demografi, atau kebudayaan, tetapi ditentukan oleh institusi ekonomi dan institusi politik yang inklusif dalam negara dan daerah tersebut. Semakin eksklusif dan ekstraktif intitusi ekonomi dan institusi politik suatu negara atau daerah, maka semakin mempercepat negara atau daerah itu menuju kegagalan.
Dua buku ini bukan hanya membicarakan problem sebuah negara dan kota-kota di dunia, tetapi memberikan kita sekaligus resep untuk keluar dari keterpurukan, sekuat apapun pemimpin, sebaik apapun narasi dan program pemerintah, tak ada gunanya bila institusi ekonomi dan institusi politik eksklusif masih bercokol, jika masyarakat dan pemerintah masih terus-terusan tak kompak. Pelibatan masyarakat dalam setiap kebijakan mesti digalakkan dan merudiksi kekuatan ekstraktif kekuasaan barangkali jalan termudah menuju negara atau daerah sukses.
Pabila Bang Jhoe sudah menyelesaikan dua buku tipis ini, kita akan diskusi lanjut, point yang ingin saya sampaikan bahwa memang perubahan tak bisa dilakukan dalam sekejap mata, butuh proses yang agak radikal, melakukan transformasi pada hal-hal mendasar sehingga kemajuan yang kita impikan bisa tercapai. Ketika Sang Capten menawarkan ide dan gagasam soal mendorong kota ini menjadi kota jasa dan bisnis dengan berupaya membangun sejumlah infrastruktur pendukung ada konklusinya, kita punya sejarah maritim yang besar, kita pernah jadi bandar perdagangan, artinya ini bukan ide baru, para moyang terdahulu sudah melakukannya, jikalau Sang Capten hendak mendorong kembali soal ini mesti kita dukung, kalau caranya agak berbeda harusnya bisa kita pahami karena konteks ruang dan waktu pun berbeda. Tapi saya sependapat bahwa ada hal yang mesti diluruskan, hanya bengkok bukan berarti salah, dan tak perlu kita menanggung malu. Memilih fokus mendorong Jasa dan Bisnis adalah pilihan tepat, Tidore Kepulauan punya sumber daya yang cukup untuk berkembang ke arah itu, di apit dengan kota Ternate yang sudah begitu padat dan Ibu Kota Provinsi yang masih akan terus berkembang, kelebihan position Tidore Kepulauan dibandingkan daerah kabupaten lain harus mampu jadi bargaining, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru akan tumbuh dengan sendiri jika kita sudah mampu membangun institusi institusi yang inklusif.
Penutup soal rumah sakit rujukan, pikiran ini sudah ada di DPRD masa periode saya, Tidore sangat berpotensi melakukan itu, dan sangat layak dengan kondisi kotanya yang tenang dan nyaman, tetapi memang soal dipembiayaan apalagi dengan kemampuan APBD yang tak seberapa, sangat sulit diwujudkan dalam waktu dekat. Tetapi tak ada yang tak mungkin jika kita mau sedikit bersabar mencicil pelan-pelan tiap tahun, belajar dari Jepang mereka butuh 1 abad untuk menjadi hebat seperti hari ini, segala yang ada di kolong langit ini pasti mungkin dan bisa dilakukan, tak ada yang mustahil. Kecuali satu yang tak pernah bisa dilakukan oleh manusia manapun, menunda kematian.
Penutup Bang Jhoe, saya tak berani mengutip ayat Al-Quran, sangat berat, walau sesungguhnya itulah sebenar-benarnya pedoman para pemimpin, selurus-lurusnya jalan menuju kejayaan dunia akhirat. Oleh karenanya saya menutup dengan mengutip kata kata Napoleon dalam ‘Seikatsu Kaizen’ ; “Jika kita mengikuti arah opini publik, maka tidak ada program kerja yang tidak bisa dilaksanakan. Di dunia ini tidak ada kekuatan yang dapat melawan opini publik.”***
*Politisi
Tinggalkan Balasan