Oleh : ARIYADI RUSDI (Sekertaris Umum PMII Komisariat UIM Cabang Metro Makassar)
”Runtuhnya sebuah negara adalah ketika, negara kita di peralatkan untuk kepentingan politik borjuis”
Mendengar kata “politik” barangkali bukanlah sebuah hal yang baru di dalam tatanan kehidupan bernegara. Dari berbagai perspektif yang lahir dari akar rumput tentang politik, memanglah suatu kenyataan yang bersandarkan pada kondisi objek yang terikat dengan dunia politik. Sebagai misal politik ditandai dengan kata korupsi, bahwa politik itu kotor dengan akumulasi warna (hitam dan putih). Namun apabila kita mengasosiasikan kata politik itu selalu bernada negatif, di situlah sebenarnya politik mulai hilang esensinya sebagai proses memerdekakan manusia dari segala bentuk kebodohan. Politik adalah segala kegiatan manusia yang berorientasi kepada masyarakat secara keseluruhan, atau yang berorientasi kepada negara. Sebuah keputusan disebut keputusan politik apabila diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan. Suatu tindakan harus disebut politis apabila menyangkut masyarakat sebagai keseluruhan (Franz Magnis Suseno). Bahwa pengertian politik adalah upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki (Aristoteles).
Sebenarnya politik pada hakikatnya adalah sebuah ilmu yang berbicara tentang asas kemanusiaan. Dalam negara, konsep politiknya sepenuhnya memiliki keberpihakan yang di antaranya adalah kepentingan masyarakat. Sistem politik kita adalah domokrasi. Masyarakat memiliki hak yang sama dengan kekuasan. Bahkan masyarakatlah yang menjadi penentu sebuah bangsa yang maju.
Tentu Indonesia memiliki itu tetapi pertnyaannya apakah negara sudah mampu menjalankan roda politik di ruang kepemerintahannya, atau negara lebih cenderung berpihak kepada kekuasan individu. Namun, tidak bisa kita pungkiri bahwa kegaduhan dan carut marut politik di Indonesia telah didominasi oleh struktur kekuasaan yang membungkam hak rakyat. Sebagi contoh, momen politik di setiap daerah, misalnya, pilkada dan lain sebagainya di Halmaera Selatan, yang menjadi ketidaksadaran atas kegilaan politik borjuis yang meninahbobokan masyarakat dengan ruang yang mereka buat sendiri. Segala bentuk wajah demokrasi didesain oleh mereka dan untuk mereka bukan oleh rakyat untuk rakyat.
Politik borjuis berwajah kemanusian adalah gaya politik di Halsel menurut kaca mata saya. Saya berasumsi bahwa konflik antartentangga adalah persoalan politik borjuis itu yang kemudian melahirkan suatu perspektif tentang etnis. Konflik etnis sebenarnya adalah desain para politisi borjuis untuk mendapat sebuah kemenangan yang diinginkan. Sebab, para politisi telah dibutakan dengan kekuasaan yang pada akhirnya rakyat sendiri dijadikan tumbal oleh kebengisan mereka.
Konflik yang sengaja dibuat yang pertama sekali bersorak ekonomi dari wajah politik borjuis. Mereka berkompitisi mempengaruhi rakyat dengan bunga-bunga okonomi. Pastinya, masyarakat secara awam akan terpengaruh atas bualan yang bersifat kemapanan itu. masyarakat tidak sepenuhnya salah untuk mengambil langkah, karena yang salah adalah cara kerja politik seperti ini yang kemudian mendatangkan mala petaka di masyarakat. Jangan heran ketika konflik itu menghancurkan perdamaian hanya persoalan romantisme ekonomi dalam janji serapah politisi borjuis. Disinilah mulai lahir politik bafetenaantara komunitas masyarakat. “Sebenarnya masyarakat tidak pernah miskin secara ekonomi, namun karena ada negara maka negara yang menjadi tokoh utama dalam memiskinkan masyrakat”.
Para politisi sebenarnya mengerrti soal ini. Namun mereka berpura-pura lupa dan justru membuat peta konflik di masyarakat. Tapi karena kekuasan maka kemenanganlah yang diinginkan olehnya dan toh untuknya. Mereka lupa bahwa kemenangan yang sejatinya adalah terciptanya sebuah masyarakat yang menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Sudah saatnya kita membuka kerangka sadar atas dunia politik borjuis itu. Sebab, jika tidak, yang terjadi terus menerus adalah konflik kelas masyarakat yang dibuat-buat. Politik borjuis berwajah kemanusian ini sebenarnya adalah citra para pengejar kekuasan. Justru berwajah kemanusian inilah nilai-nilai kemanusiaan itu akan hilang. Karena berbicara tentang kekuasan, ia sama sekali tidak memiliki sejarah yang manis dengan masyarakat.
Jika wajah politik kita seperti ini masih pantaskah kita sebut mereka adalah superhero untuk segala kepentingan rakyat. Atau malah kita akan selalu menjadi pion untuk dipolitisasi dalam kepentingan yang tidak ada keberpihakan terhadap masyarakat sama sekali. Barangkali ini yang perlu didiskusikan oleh mereka yang sebagai pelupa kemanusiaan. Sebab kata Gus Dur, “yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaannya”.
Sebagai masyarakat partispatif haruslah berpolitik. Jangankan berpolitik, mengubah wajah politik borjuis itu hukumnya tentang perdamaian. Negara sudah tidak lagi menjadi media untuk segala urusan yang keberpihakannya masyarakat, karena negara kita sudah dipegang oleh kaum borjuis. Maka tentu negara akan berpihak pada kekuatan borjuis daripada rakyat secara menyeluruh. Kita perlu berkaca mata pada konflik di Ambon Maluku yang tidak lain adalah politik borjuis sontoloyo yang mengakibatkan konflik antaragama. Sedang negara mengkambinghitamkan rakyat sebagai pendosa sejarah.
“Mari kita kabarkan kepada mereka, selamat tinggal politik borjuis !” []
Tinggalkan Balasan