TERNATE-PM.com, Kegiatan Kuliah Lapangan memang sangat dibutuhkan oleh seluruh Mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di Perguruan tinggi. Hal ini karena Mahasiswa dapat mengenal langsung persoalan dan konektivitas antara teori dan realitas di lapangan.

Inilah yang membuat Prodi Ilmu Sejarah Unkhair Ternate mengadakan Kuliah Lapangan dengan tema ‘Sejarah dan Tradisi Dalam Pertanian serta Masyarakat Pesisir dan Bakti Sosial Mahasiswa Sejarah’. Kuliah lapangan yang dilaksanakan bersama Prof Leontine Visser ini, dilaksanakan di Kantor Desa Saria, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat pada Jum’at (13/03/2020) sampai Minggu, (15/03/2020).

Kuliah lapangan ini juga dihadiri oleh Koordinator Program Studi (Kaprodi) Ilmu Sejarah, Jainul Yusuf, beserta dosen Ilmu Sejarah, Pheres Sunu Wijeyengrono dan Junaib Umar. Kegiatan kuliah lapangan Prodi Ilmu Sejarah diawali dengan kehadiran Perwakilan Mahasiswa dan dosen pada pemutaran film Sahu Harvest Festival karya Prof Leontine Visser dan S. Jouwersma di tempat wisata terintegrasi Masyarakat Sahu, Desa Gamtala dan diakhiri di Desa Saria, Kecamatan Jailolo.

Kunjungan Prof Leontine Visser di Maluku Utara menjadi momen tepat dalam pemahaman kuliah lapangan secara komprehensif. Prof Leontine Visser sendiri merupakan seorang Guru besar dari Universitas Wageningen, Belanda. Spesialisasi dan keahliannya pada masyarakat Sahu dan coastal society menjadikan kehadirannya sangat tepat untuk membimbing Mahasiswa agar memahami tentang Masyarakat pesisir, baik dari segi substansi maupun metodologis. Keberadaan Prof Leontine Visser sendiri memberi masukan penting bagi Mahasiswa Ilmu Sejarah.

Pada kesempatan tersebut, Beliau menuturkan, mulai sekarang harus mulai meneliti desa, karena desa-desa di Halmahera ini begitu beragam tetapi sangat sedikit pengetahuan dan karya-karya akademis tentangnya. Menurutnya Hal ini tentu memberi paradigma baru bagi Mahasiswa Ilmu Sejarah, dimana selama ini ada sisi yang terlupakan tentang memahami sejarah dan kebudayaan itu sendiri. “Masih banyak hal-hal lain di pedesaan Halmahera, baik di pedalaman ataupun pesisir pantai yang belum tersentuh ataupun dilirik menjadi tema-tema penelitian di Maluku Utara,” ungkapnya.

Tidak hanya itu, Ia juga menambahkan bahwa, jangan pernah malu untuk menggunakan bahasa daerah. Dimana saat ini banyak bahasa daerah Maluku Utara yang telah hilang, bahkan anak-anak muda yang ada tidak tahu sama sekali bahasa daerah. “Contohnya saya saat di Sahu, saat ini saya hanya berbicara Sahu hanya dengan orang-orang tua, anak muda banyak yang sama sekali tidak mengerti bahasa Sahu itu sendiri,” kesalnya.

Terkait dengan tema kuliah lapangan mengenai masyarakat nelayan dan pesisir sendiri, beliau juga mengatakan, Masyarakat pesisir atau nelayan sendiri sudah ada sejak lama, tidak hanya di Indonesia tetapi di banyak tempat selalu terpinggirkan. Hal ini mengingat akses transportasi selalu menjadi alasan utama kenapa marjinalitas kedudukan mereka. Beliau menambahkan, contohnya di jaman Belanda, untuk urusan belasting atau pajak, pegawai kolonial lebih suka membangun jalan untuk mengurus pajak dan administrasi dengan mereka dari pada harus menggunakan perahu menyusuri desa-desa nelayan dan itu pun belum tentu mendapatkan hasil. “Mungkin karena sedang melaut. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat pesisir selalu diabaikan oleh pemerintah apalagi jika pemerintah tidak fokus melakukan pembangunan jalan atau akses transportasi apa pun secara menyeluruh,” tegasnya.

Terkait secara metodologi pencarian data, beliau mengingatkan bahwa pengalaman dirinya saat lakukan penelitian di Indonesia adalah persoalan statistik. Sering kali Ia menemukan data-data statistik yang berbeda antara satu dengan lainnya, dan jika dibandingkan dengan realitas akan semakin berlainan. Untuk itu, menurutnya sebagai peneliti memang harus peka, dan jika memang diharuskan kita sendiri yang harus melakukan survei untuk mencari data-data statistik yang sesungguhnya berdasarkan pengamatan kita. “Memang akan berlaku subyektif tetapi hal ini jauh lebih baik dan setidaknya mencoba mendekati realitas sesungguhnya daripada kita justru mengalami kesalahan statistik,”. Imbaunya.

Persoalan kebahasaan juga menjadi permasalahan dalam penelitian. Sering kali peneliti hanya menggunakan bahasa pengantar dan tidak mau berbahasa lokal. Padahal menurut beliau, hal ini sungguh serius seperti pengalamannya saat penelitian sampah dan kebudayaan di Pantai Gading, Afrika Barat. Menurut penuturannya, Masyarakat Pantai Gading menggunakan bahasa daerah dan bahasa Prancis sebagai komunikasinya. Sedangkan Ia hanya menguasai bahasa Prancis. Padahal yang menguasai bahasa Prancis adalah kaum pria itu pun yang terpelajar. Permasalahannya adalah justru untuk persoalan sampah sasaran utamanya adalah kaum perempuan yang sangat jarang dapat berbahasa Prancis. “Di titik inilah kita harus memahami aspek bahasa sebagai unsur penting,” tuturnya.

Penguasaan bahasa daerah Maluku Utara menurutnya sebagai aspek komunikasi tidak hanya guna persoalan metodologi semata tapi juga bermanfaat untuk melestarikan bahasa itu sendiri.
Kepekaan mencari ide untuk menggali pemahaman bagi masyarakat nelayan dan pesisir sendiri harus dibuka sedemikian mungkin. Pemahaman untuk metode, alat tangkap, kondisi geografis tangkapan, teknologi, dan lain-lain tidak hanya ditekankan kepada pengetahuan mainstream semata. “Jadi peneliti harus menangkap apa yang sesungguhnya terjadi berdasarkan perspektif nelayan itu sendiri,” tegasnya lagi.

Banyak sekali hak-hal yang sepele tapi diabaikan padahal itu penting sekali menurutnya, diantaranya bagaimana nelayan memiliki pemahaman dan pengetahuan sendiri entah berdasarkan tradisi atau pengalaman mereka sendiri. “Contohnya seperti navigasi tradisional, teknologi, atau metode seperti melacak keberadaan ikan dengan tahu hanya dari keberadaan angin, arus, atau burung-burung laut,”.

Kuliah lapangan dan kegiatan terakhir kerja Bakti Sosial mahasiswa Ilmu Sejarah di desa Saria di masjid desa Saria, kantor desa dan dalam Kampung Saria ditutup dengan sesi diskusi dan pemberian tugas bagi mahasiswa sesuai arahan Prof Leontine Visser. (OP-red)