Oleh M. GHUFRAN H. KORDI K

Protes, Mengapa Merusak Fasilitas Publik

M. GHUFRAN H. KORDI K

Protes dalam bentuk unjuk rasa atau demonstrasi yang dilakukan oleh rakyat adalah hal yang biasa di negara manapun, apalagi di negara demokrasi. Namun, mengapa demonstran menumpahkan kekesalan dan kemarahan dengan merusak fasilitas publik dan fasilitas pemerintah/negara. Perusakan kantor-kantor pemerintah, pembakaran kantor/pos dan kendaran polisi, pembakaran kendaraan plat merah, perusakan traffic light dan lampu jalan, dan perusakan taman adalah contoh-contoh betapa unjuk rasa selalu menyasar fasilitas publik atau fasilitas negara.

Fasilitasi publik dibangun dengan uang negara dan uang negara berasal dari rakyat. Artinya, rakyat merusak fasilitas yang dibangun dari hasil keringat mereka sendiri. Pengunjuk rasa, terutama mahasiswa, bukan tidak tahu bahwa fasilitas publik itu dibangun dari uang rakyat atau uang negara. Tetapi mengapa mereka mau merusaknya?

Pertama, sejak dulu sampai sekarang, pemerintah baru peduli kalau sudah ada pengrusakan atau jatuh korban. Di masa Orde Baru, sekalipun sudah ada korban masih tidak dipedulikan. Bahkan kalau perlu semua yang protes atau berunjuk rasa harus dihilangkan alias dibunuh. Kedua, perilaku manusia Indonesia yang terbelah atau berkepribadian ganda.

Homo sovieticus dan Homo orbaicus

Para ahli di berbagai belahan dunia telah melakukan penelitian mengenai perilaku manusia-manusia di negara-negara yang dipimpin secara totaliter, fasis, dan tidak demokratis, menemukan bahwa perusakan fasilitas publik atau milik negara oleh rakyat adalah sesuatu yang umum.

Salah satu ahli, Edmund Mokrzycki yang meneliti warga negara Uni Sovyet (sebelum runtuh), menyebutkan bahwa suatu bangsa yang diperintah secara totaliter dalam waktu yang lama akan mengembangkan perilaku yang khas yang disebutnya homo sovieticus (manusia Soviet) (Rakhmat, 1999). Ciri utama homo sovieticus ditandai dengan kepribadian yang terpecah semacam schizophrenia (orang yang memiliki kepribadian ganda, yang masing-masing berjalan sendiri-sendiri). Homo sovieticus mempunyai dua kepribadian atau dua wajah: wajah di hadapan orang banyak (publik) dan wajah untuk diri sendiri dan keluarga terdekat (privat). Dua kepribadian ini bisa berbeda sangat jauh.

Sebuah penelitian di Polandia yang dilakukan setelah pergantian kekuasan dari rezim otoriter ke demokratis menggambarkan perilaku orang-orang Polandia sebagai manusia berkepribadian terpecah sebagai ciri utama homo sovieticus. Perilaku orang-orang Polandia ini mirip dengan perilaku orang-orang Indonesia sejak zaman Orde Baru sampai saat ini.

Marody peneliti tersebut menjelaskan bahwa, orang-orang Polandia mempunyai sikap yang sangat berbeda terhadap pekerjaan. Kalau mereka bekerja di perusahaan-perusahaan negara, mereka itu lalai, tidak efisien, dan sering bolos. Tetapi kalau bekerja untuk kepentingan mereka sendiri, mereka akan berdisiplin, bekerja keras, dan sangat rajin. Jika bekerja di luar negeri, orang Polandia juga sangat rajin. Tetapi, kalau bekerja di dalam negeri, mereka lebih banyak bolos, tidak efisien. Selain itu, dalam ranah publik, di hadapan orang banyak, para pekerja itu sering lamban mengambil keputusan, suka melemparkan tanggungjawab kepada yang lain, dan mementingkan kepentingan sendiri (egois). Sebaliknya, jika mereka bekerja untuk dirinya sendiri, mereka memiliki insiatif, inovatif, dan siap memikul resiko untuk bertanggung jawab.

Pribadi terbelah dari orang-orang Polandia itu sama dengan pribadi orang-orang Indonesia. Sudah umum cerita tentang pegawai negeri yang malas bekerja dan tidak efisien. Semetara itu, proyek-proyek pemerintah yang dikerjakan oleh swasta sudah pasti asal-asalan, yang penting selesai.Pegawai negeri ini kalau pindah bekerja untuk lembaga-lembaga donor atau perusahaan asing, mereka akan bekerja keras dan sangat efisien. Demikian pula, pengusaha yang mengerjakan proyek-proyek asing, akan dikerjakan sangat serius dan tepat waktu.

Umumnya orang-orang seperti itu tidak menghormati miliki negara atau milik publik. Kita dapat melihat fasilitas publik (public property) tidak hanya dicoret dan dikotori, tetapi juga dirusak dan dicuri. Tetapi orang-orang ini menjaga dengan baik apa yang menjadi hak milik mereka. Di masyarakat, merusak dan mencuri fasilitas publik atau milik negara dianggap biasa, tidak ada hambatan moral, bahkan seperti disetujui dan dianjurkan. Orang menganggap biasa saja ketika melihat orang mengangkut kursi di sebuah terminal (milik publik), tetapi pencuri sapi dan kerbau tidak hanya dikecam, namun benar-benar dibakar warga.

Perilaku merusak, mengotori, dan mengambil barang-barang yang merupakan milik negara atau fasilitasi publik ini seperti ini menjadi kesepakatan bersama, tidak membedakan kelas sosial, dan dianggap biasa saja.

Seorang peneliti lain, Stanislaw Ossowski, menyebut pribadi tersebut sebagai sindrom liliput. Sindrom liliput dalam cerita Gulliver and the Dwarves ialah orang-orang kecil yang berhadapan dengan orang-orang besar (Rakhmat, 1999). Di negara totaliter dan negara demokrasi yang dikuasai oleh pemodal seperti Indonesia, rakyat adalah makhluk kecil yang berhadapan dengan kekuasaan yang sangat dahsyat.

Karena itu, rakyat mengembangkan sejenis kepribadian untuk beradaptasi dengan kekuasaan yang meraka hadapi. Caranya, antara lain dengan merusak atau mencuri barang milik publik atau negara, sebagaimana pejabat-pejabat mencuri (merampok/korupsi) hak-hak rakyat. Maka orang-orang Indonesia—sebagaimana orang-orang Polandia—menjadi bangsa maling. Pejabat tinggi malingnya lebih tinggi dan lebih banyak dan pejabat rendah malingnya tentu lebih rendah dan lebih sedikit. Yang paling kasihan adalah mereka yang tidak mempunyai jabatan sehingga selalu menjadi korban maling-maling besar. Korbannya muncul dengan bermacam wajah: kemiskinan, kelaparan, putus sekolah, anak-anak gizi buruk, angka kematian bayi yang tinggi, angka kematian ibu melahirkan yang tinggi, ketelantaran, buruh anak, anak jalanan, gelandangan, pengemis, dan sebagainya.

Pribadi manusia homo sovieticus yang ada di Rusia, Polandia, dan negara-negara yang terlalu lama dikuasai oleh rezim totaliter dan otoriter tidak berbeda. Di Indonesia, selama 32 tahun dikuasai rezim otoriter-fasis Orde Baru melahirkan manusia yang juga mirip dengan manusia Rusia dan Polandia, yang oleh Jalaluddin Rakhmat disebut homo orbaicus (manusia orba, dari kata “orde baru”).

Saat ini bangsa Indonesia dikenal dunia sebagai bangsa maling (pencuri/korupsi). Itulah manusia homo orbaicus. Namun, terdapat perbedaan antara homo sovieticus dan homo orbaicus. Homo sovieticus adalah manusia komunis yang ateis, bahkan di era kekuasaan totaliter komunis, semua penganut agama ditekan habis-habisan. Sedangkan homo orbaicus adalah orang-orang beragama yang rajin beribadah: benar-benar berkepribadian ganda.

Demokrasi hipokrit
Sejak 1998, Indonesia memasuki satu fase perubahan yang luar biasa. Negeri ini pun digelari sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, dilihat dari ukuran jumlah penduduk. Namun reformasi yang berjalan sudah sekitar 22 tahun tidak berdampak positif pada transformasi struktur budaya dan kelembagaan.

Demokrasi Indonesia barulah prosedur yang manipulatif, di mana uang dan preman berkuasa memanipulasi suara rakyat. Politisi instan di partai politik bukanlah pemimpin dan negarawan. Mereka hanyalah orang-orang hipokrit yang berbicara atas nama rakyat dan negara. Demokrasi seperti ini tidak lebih dari Demokrasi Hipokrit. Tidak ada pemimpin yang bisa dilahirkan dari demokrasi seperti ini, yang ada hanyalah politisi, pengusaha, dan preman.

Demokrasi membuka ruang bagi setiap warga negara untuk terlibat dan memengaruhi pengambilan keputusan. Ketika kebijakan dibuat, sekalipun itu untuk dan atas nama kepentingan rakyat, maka rakyat tidak boleh diabaikan, betapa pun rumit, memakan biaya, lama, dan melelahkan.

Demokrasi memang membutuhkan ongkos yang besar, tetapi jika prinsip-prinsip demokasi diabaikan atas nama apa pun, maka ongkos yang baru dan lebih besar juga bakal muncul. Belajar dari Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang terkesan dikerjakan secara “balapan” oleh DPR RI di tengah pandemi Covid-19 untuk, mungkin salah satunya menekan “ongkos”, sekarang malah menambah ongkos, termasuk perusakan fasilitas publik di berbagai daerah di Indonesia.

Protes termasuk dalam bentuk unjuk rasa adalah sesuatu biasa, yang tidak biasa adalah setiap unjuk rasa selalu ada perusakan fasilitas publik, fasilitas pemerintah, atau barang milik negara. Tentu ada yang tidak tepat, bahkan salah yang dilakukan oleh pemerintah.[**]

Komentar

Loading...