[pl_row]
[pl_col col=12]
[pl_text]

Oleh : Ardiansyah Fauji

Di siang yang terik pada abad ke-4 yang silam, seorang penyebar hipokrisi berjalan membawa lentera kemana-mana, ia bertanya pada setiap orang yang dijumpai sepanjang perjalanan, matanya mengawasi satu-satu, setiap sudut kota Athena, tak ada yang terlewatkan, ia sedang mencari orang jujur.

Lentera itu semacam simbol sinisme, jika Diogenes memahami sinisme sebagai sebuah pandangan kehilangan kepercayaan pada manusia dengan akar masalah yang komplex dan substansial. Orang-orang hari ini yang katanya lebih maju memahami sinisme sebatas nyinyir ‘bahwa semua orang lain jelek adanya’ sehingga tak ada kebaikan tersisa dari orang lain tersebut. Celakanya lagi si-nyinyir merasa dia sendiri yang paling benar.

Menulis ini saat hujan turun, setelah melumat habis novel Arthur Koestler ‘Darkness at Noon. Arthur tak menyebut dimana tempat sebenarnya kisah-kisah suram dalam novelnya berlangsung, tetapi sehabis membaca, kita akan tahu, semua yang tak bisa disembunyikan oleh sejarah, seperti bersembunyi dibawah lampu mercury kata seorang Begawan Hamid Usman, sejarah yang dituliskan dalam Darknes at Noon adalah serupa pergolakan politik brutal namun bergairah, sadis tapi sungguh melangkolis.

Siapa yang terlalu percaya pada sejarah akan kecewa usai membaca halaman terakhir novel yang ditulis pada tahun 1939 ini. Sejarah memang tak pernah salah, meskipun ditulis dengan meninggalkan sisa-sisa darah, air mata, dan ribuan nyawa yang terkapar tanpa bisa memilih di tanah mana mayat-mayat itu mesti dikuburkan, wasiat yang tertulis, terbaca tapi tak pernah bisa ditunaikan. Sejarah tetap menjadi seorang kakek tua yang bijaksana.

Sejarah kelam penjajahan tak bisa kita nafikan begitu saja. Ada value disetiap lembarnya.  Bagi orang-orang yang berfikir, menarik pelajaran berharga dari sejarah bangsa masa silam adalah sebaik-baiknya upaya merawat kemerdekaan.

Hari ini, tepat dipenghabisan perayaan kebangkitan Sumpah Pemuda yang ke-91 tahun, seorang lelaki berkemeja hitam, berkacamata kecil, berdiri di atas panggung sederhana. Ia berdiri seperti tahun 1928 dahulu kala, pelan namun pasti suaranya menggema;

Soempa Pemoeda

Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.

Kedoea: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

(Penulisan ejaan Van Ophusen)

Kita seperti ditarik kembali ke awal masa-masa pergolakan melawan penjajah. Jahitan sejarah emas perjuangan anak bangsa seperti dibentang kuat-kuat di depan mata. Pembacaan ikrar Sumpah Pemuda malam itu diikuti oleh para aktivis, para pemangku kebijakan, para pemikir, OKP-OKP dan seluruh elemen pergerakan dengan penuh hikmat.

Ia berdiri tegap diantara jejak arus pemikiran yang saling bertentangan, diantara badai sinisme (nyinyir) yang menebal, ia tangguh meski tak terhitung lagi banyaknya ejekan, olok-olokan menerjang. Ia tetap menjadi seorang Muhammad Sinen, yang terkadang keras, penuh kontroversi, tapi terbuka menerima penghakiman.

Lewat panggung pemuda malam itu, ia membuka diri dikritik sekeras-kerasnya, ia merendah sebaik-baiknya pada mereka baik kawan maupun lawan. Ia memahami seluruh salah adalah miliknya, dan kebenaran hanyak datang dari Rabb. Berkali-kali ia mengucapkan itu.

‘Kekuatan terbaik bangsa ini adalah para pemuda, maka bersatulah’

Refleksi hari Sumpah Pemuda haruslah dimaknai sebagai sebuah momentum kebangkitan yang revolusioner, pelopor kemerdakaan Indonesia. Hari ini harus menjadi pelopor kemajuan bangsa. Pabila seluruh kekuatan pemuda ini menyatu maka bukan hal mustahil kita akan tampil sebagai pemenang dalam setiap pertarungan global apapun bentuknya. Muhammad Sinen parcaya, tak ada lokomotif penggerak perubahan sehebat orang-orang muda, hampir diseluruh belahan dunia, yang maju tampil menjawab tantangan zaman adalah orang-orang muda yang berkarekter kuat. Baik karakter moral maupun karakter kinerja.

Diakhir orasi kebangsaan memperingati hari Sumpah Pemuda, ia mengajak para pemuda untuk terus mengawal jalannya pemerintahan, tetap menjadi kritis disetiap kebijakan dan tak lelah berkontribusi pikiran untuk daerah, sehingga upaya mewujudkan kebaikan (kesejahteraan) bersama bukan hanya menjadi cita-cita dan tanggungjawab pemerintah, tapi merupakan tanggungjawab seluruh element di daerah.

Seorang Muhammad Sinen adalah seorang pesohor di kota kecil Tidore Kepulauan, di Survei terbaru Charta Politika, menempatkan dirinya sebagai figur dengan popularitas tertinggi daripada beberapa tokoh lain yang juga ikut di survei. Tapi ia tak serta merta menjadi jumawa, ia tetap memilih sebagai pendamping Capt Ali Ibrahim hingga masa kepemimpinan berakhir. Baginya itu sebuah komitmen moral yang tak bisa ditawar. Sebagai pesohor ia tak teralienasi dari cermin hidup dihadapannya, tak pernah lepas karakter dirinya sebagai seorang yang memulai seluruh karier dari yang tak punya apa-apa, ia sederhana juga seorang yang peka. Ia ingat benar masa-masa menderita dalam hidupnya, dari mulai menjadi nelayan, penjual ikan, pembeli kopra, seorang pelarian, juru mudik speedboat, semua ia tuturkan dengan jujur. Setiap orang yang dekat dengannya pasti paham, ia tak pernah berkamuflase menjadi orang lain hanya karena sebuah kekuasaan.

Ia tak pernah jadi bayang-bayang.

Sebagai seorang lelaki yang dibesarkan oleh laut dan dunia politik, Muhammad Sinen berubah menjadi pribadi yang tak mudah tumbang, semakin dicaci ia semakin besar. Sesekali ia emosional, lepas kontrol menghadapi semua badai yang datang, sungguh sikap manusiawi, penanda bahwa ia masih seorang biasa. Tetapi seperti kodratinya kedatangan selalu ada waktunya badai berlalu pergi.

Sesuatu yang tak bisa membunuhmu akan membuatmu menjadi semakin kuat, dan semoga ini jadi ingatan kita semua, nasehat paling puitis dari Paman Spiderman; Dalam kekuatan yang besar akan datang pula tanggungjawab yang besar.

Terus berjuang dan bekerja, semoga amanah sang Wakil. (*)

Sofifi 29 Oktober 2019

[/pl_text]
[/pl_col]
[/pl_row]