Oleh : Asterlita T Raha
Mari memulai dengan mengucapan selamat memperingati hari ulang tahun untuk Provinsi Maluku Utara, anak kandung Maluku yang lahir pada tanggal 4 Oktober 1999. Selanjutnya melalui UU RI Nomor 46 Tahun 1999 dan UU RI Nomor 6 Tahun 2003 menjadi dasar hukum bergabungnya kabupaten Maluku Utara dan Kabupaten Halmahera Tengah menjadi Provinsi Maluku Utara.
Dalam usia yang ke 20 tahun ini, wacana Otonomi Khusus (Otsus) kembali didengungkan di media sosial yang berbuntut pada pertemuan puluhan tokoh (laki-laki) untuk bersepakat menuntut Otsus untuk Maluku Utara.
Pada edisi 5 Oktober 2019, sejumlah media cetak lokal dan online memuat berita pertemuan puluhan tokoh ini. Sungguh menggores sebab dalam dokumentasi, tidak satupun tokoh perempuan dilibatkan. Ironis seolah-olah kekuasaan hanya milik laki-laki saja, lalu dengan bangga menyebut ini untuk kepentingan masyarakat? Lalu sudahkah kepentingan dan suara perempuan terwakili?
Wacana Otsus hanya menjadi pembicaraan laki-laki, pada akhirnya perempuan akan menjadi pihak yang dipinggirkan dan korban dari arogansi dan birahi kekuasaan laki-laki. Mari melihat Papua, Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua (UU No. 21 tahun 2001) dan Provinsi Papua Barat (UU No 35 tahun 2008), hampir 19 tahun (papua) dan 11 tahun untuk Papua Barat, apa yang telah dihasilkan untuk perempuan Papua? Relasi dan ikatan patriarki begitu menghegemoni perempuan sehingga kehilangan posisi tawar (bargaining posision).
Tak ada pelibatan perempuan ketika berbicara papua, bahkan dalam perdamaian di tanah Papua suara perempuan pun diabaikan. Hanya ada kerakusan, kekerasan dan kematian yang di pertontonkan oleh kekuasaan yang bertubuh pada laki-laki. Lalu masihkah pantas harapan kesejatraan perempuan dilabuhkan dari Otsus yang memang sedari awal telah mengsubordinasi perempuan? Otsus Aceh pun sama saja, menjadi tontonan paling baik bagaimana kekuasaan patriarki bekerja menguasai seksualitas ketubuhan perempuan.
Tak salah jika mengatakan Otsus berwajah laki-laki, kesimpulan ini bukan tanpa dasar namun realitas yang terjadi, sehingga dengan sadar perempuan harus bersikap sebagai bentuk perlawanan jangan sampai ini hanya agenda terselubung yang coba dibangun untuk lebih menekan perempuan dalam ruang domestik.
Referendum! Kata yang paling tepat memukul wacana Otsus laki-laki. Sebab suara perempuan terus bungkam terkubur oleh rutinitas reproduksi sampai lupa terlibat memproduksi produk kesejahteraannya. Perempuan berhak menentukan apakah Maluku Utara pantas menuntut otonomi khusus atau tidak. Jangan menyunat political will perempuan dengan pembangunan yang tak berpusat pada gender, jika demikian emansipasi adalah bagian integral dari Referendum.
Di Irlandia (2018), Referendum Aborsi dimenangkan oleh perempuan dan membungkam kelompok konservatif Gereja Katolik. Adapun referendum hak suara perempuan Liechtenstein pada tahun 1984, dan sesuai referendum itu konstitusi Liechtenstein diamandemenkan agar perempuan ikut Pemilu. Sekiranya ini menjadi gaum perempuan Maluku Utara agar dalam ruang-ruang publik kesetaraan tak dikeberi. Sultanah Boki Nukila telah merintis dan menjadi panutan kita, pernah menjadi Ratu di Negeri raja-raja yang patriarki.
Sejarah demokrasi memang diciptakan oleh laki-laki, sehingga tak mengherankan jika filsuf Chantall Moffe dan suaminya Ernesto Laclau menyebutkan secara eksplisit dalam kata pengantar the Democratic paradox (2000), bahwa dibutuhkan landasan teoritis sebagai alternative dalam memahami demokrasi diluar dari cara pandang arus utama, yaitu demokrasi liberal.
Moffe (2000:80-107) menjelaskan mengenai demokrasi agonistik sebagai elaborasi konseptual terhadap landasan teoritis alternative yaitu demokrasi radikal yang berspirit pada dissensus dan perbedaan (difference). Artinya dalam sistem demokrasi itu adalah ruang perdebatan yang melibatkan partisipasi semua pihak termasuk perempuan. Praktek maskulinitas dibudayakan sebagai suatu kearifan, terinternalisasi lewat pola asuh dan terpelihara lewat mitodologi yang bertubuh pada tatanan masyarakat.
Argumentasi sederhana sebagai penutup, Jika tujuan Otsus adalah kepentingan Bersama, maka libatkan semua elemen masyarakat dan tentunya perempuan serta kelompok minoritas lainnya. Jangan sampai wacana otonomi khusus hanyalah jalan terjal bagi perempuan Maluku Utara. Sebab, Maluku Utara bukan milik satu suku, agama, apalagi jenis kelamin tertentu, sehingga untuk menentukan masa depan Maluku Utara tak satupun berhak memproklamirkan sebagai sebuah konsesus seluruh masyarakat Maluku Utara. (*)
Tinggalkan Balasan