Oleh : Asghar Saleh

Beberapa milenial duduk melingkar sambil ngobrol film Hayya. Diskusinya agak serius, lalu berujung debat. Seorang kawan mencoba cerita soal latar film tentang kemanusiaan yang tercabik di Palestina. Lalu diskusinya pindah ke rasa merdeka, entah kenapa tiba-tiba berbelok pula ke sepakbola. Kenapa TimNas senior selalu babak belur?. Kawan yang sama lagi-lagi menjelaskan soal bola itu. Menggelinding hingga soal anak sekolah yang diimbau tak ikut demo tolak RUU KUHP dkk. Di ujung debat itu, muncul sebuah gugatan untuk kawan ini, “ngana su sama tauge e..samua bisa?

Ada apa dengan tauge?. Tauge adalah sayuran yang merupakan tumbuhan muda yang baru kerkecambah dan biasanya terlindung dari cahaya. Konon tauge ini serapan dari  logat Hokkian di China, istilah mandarinnya “douya”. Tauge murah meriah, sebagaimana mudah tumbuh dan tidak ruwet menanamnya, tauge hanya butuh waktu singkat untuk dipanen. Sayuran ini diyakini punya kadar vitamin tinggi dan karena itu biasanya dicampur dengan segala jenis masakan. Ia misalnya masuk dalam aneka tahu isi, sayuran berbagai jenis, mulai dari kangkung tumis hingga acar atau bisa juga dinikmati tunggal. Intinya, ia pasrah mau dibuat apa saja yang penting ada dimana mana. Saking larisnya, milenial tadi membuat tauge sebagai satire. Menunjuk orang yang merasa serba tahu sebagai tauge.

Membaca Indonesia hari ini kita akan menemukan satire tauge ternyata punya rekam jejak yang nyata. Sepanjang September kemarin, setelah DPR yang hampir usai itu membuat dan mengesahkan beberapa undang-ndang, sekonyong konyong orang ramai mendebatnya. Yang lebih geli, orang ramai seolah merasa paling paham. Hukum ditafsir menurut logika personal. Tak jarang kepakaran tak dihitung sebagai sebuah pengakuan. Jadinya, tafsir RUU KHUP misalnya ramai diprotes dalam bentuk meme, poster, caption di media sosial atau bahkan tulisan pendek yang tak punya ujung. Kata perkosa, selangkangan, ayam diumbar nyaris sama dengan zina, korupsi, penghinaan dan banyak lagi.

Kita secara sederhana mendefinisikan hukum dalam kehidupan bernegara sebagai undang-undang. Sebagaimana namanya yang berkonotasi undangan, memang isinya syarat makna mengundang. Tak hanya mengatur. Mengundang ini berarti datang dan juga mematuhi. Meskipun demikian, hukum yang merupakan sebuah kesepakatan yang dipegang secara universal tak lepas dari budaya, bisa jadi berbeda di satu tempat dengan yang lain. Karena itu butuh interpretasi. Ditafsirkan sesuai kehendak mayoritas. Maka tak  ada undang-undang yang tak ditafsirkan.

Meski begitu, hukum atau undang-undang punya tata main sendiri. Menurut Edward Omar Syarif Hiariej, guru besar Ilmu Hukum Pidana UGM, tafsir terhadap UU wajib hukumnya berpedoman pada asas hukum yang menjadi norma dasar. Tak bisa semau gue. Cafarune. Salah satu azas hukum yang sering diungkapkan Prof. Eddy adalah “actori in cumbit probatio”, siapa yang menggugat dialah yang wajib membuktikan. Menggugat dan membuktikan memiliki hubungan kausalitas. Ada sebab akibat. Dalam kontes ini hukum mestinya memiliki tafsir yang berpihak pada keadilan. Mengurai mana yang salah dan benar. Bersih dan busuk.

Tanpa tafsir yang berkeadilan itu, yang lahir hanyalah dusta dan kebohongan. Apakah dusta dan kebohongan tak pernah ada dalam demokrasi dan peradaban?. Dulu ada. Tetapi saat itu selalu dikomunikasikan secara terbuka. Di debat dengan argumen yang mengacu pada kebenaran meski warnanya samar-samar. Dulu, orang banyak berharap dusta dan kebohongan yang terucap akan punya batas, suatu saat ia diakui sebagai yang salah. Butuh waktu dan adu pendapat. Saat Hitler berkampanye bahwa kebohongan yang diulang terus menerus akan berubah jadi kebenaran, sejatinya Hitler juga sedang percaya pada kebenaran meski diungkap dengan cara yang kurang ajar.

Bedanya saat ini, dusta dan kebohongan itu tak butuh waktu untuk diuji. Dia bergerak lebih cepat dari otak manusia. Mengurung peradaban. Kemajuan internet yang mengagungkan kecepatan dan jejaring membuat informasi dan disinformasi bertabrakan. Hoaks dan kebenaran menyebar dalam jumlah yang sama besar, di waktu bersamaan, berseliweran bebas tanpa batasan ruang. Bagaimana memverifikasinya?. Padahal saat pertama digunakan, internet dipercaya akan membawa kebaikan. Informasi mudah diakses, tak ada yang ditutupi, dan dialog yang menyintas masalah akan seru. Tetapi ternyata ada sisi gelapnya yang tak dihitung sejak awal.

Kemajuan itu yang nyata dalam penggunaan media sosial memang membuat orang berdiskusi secara ramai. Lalu berkelompok. Yang salah adalah kelompok itu terbentuk karena kesamaan pendapat. Satu kepentingan. Kebenaran lama-lama dideklarasikan sebagai milik sebuah komunitas tertentu. Mereka yang berbeda dari kelompok itu tak diakui. Tak dianggap. Di luar “kami” adalah “kamu” yang salah. Tak perlu dialog. Kebenaran dengan huruf “k” dipertahankan dengan memaksa. Dan jadilah Indonesia penuh kontraversi. Orang tak lagi saling bertemu. Setiap komunitas punya “expert” sendiri untuk menafsir kebenaran. Terkungkung dan menolak yang universal. Kita jadi asing.

Ketika pasal-pasal dalam RUU KUHP bermaksud melindungi perempuan dari kekerasan – perkosaan-respons yang muncul adalah penis dan vagina bukan urusan Negara. Saat Menteri melarang pelajar ikut berdemonstrasi, orang lalu mencibirnya. Menganggap itu hak azasi, jangan dibatasi. Pelajar juga berhak berpendapat di muka umum dengan seragam saat jam sekolah. Ironisnya, ada yang menjustifikasi ini sebagai reinkarnasi semangat Tentara Pelajar. Konyol. Mereka lupa Tentara Pelajar dulu berperang karena kita sedang dijajah. Mereka tak punya gedung sekolah, guru merekapun ikut berperang. Saat ini kita sedang tidak berperang, tugas pelajar adalah belajar. “Berperang” menyiapkan masa depan mereka nanti lewat sekolah yang benar. Sekolah bukan semata mengejar uang pintar lewat angka-angka. Sekolah disini lebih pada membangun keadaban. Ada karakter dan nilai di situ.

20 tahun lalu Reformasi ibarat pengantin baru. Setelah ramai bergandengan tangan menumbangkan Soeharto, muncul kesadaran kolektif bahwa bangsa ini tak boleh “patah” lagi. Semua tesa tentang Soeharto dibikin antitesanya. KKN diperangi oleh lembaga khusus bernama KPK, penghuni lembaga perwakilan dipilih langsung, Polri yang terlalu militer dipisah dari TNI, otonomi diberikan, semua orang bebas berpendapat. Pers juga kecipratan bebas dan disebut jadi pilar keempat demokrasi.  Agar mapan, dibuatlah banyak sekali aturan atau undang-undang tak hanya mengatur sesuatu yang ideal, tapi juga tegas menyingkirkan yang salah. Aturan ditegakkan tanpa sungkan. Transparan. Namun seperti pengantin baru, bulan madunya ternyata tak lama. 20 tahun setelah Reformasi yang gegap gempita itu, UU tak berubah namun orang sedikit mulai jengah. Aturan yang menghambat “kebebasan” dilanggar diam- diam oleh yang “sedikit”. Korupsi misalnya justru tambah marak.

Dimana salahnya?. Kita jawabnya. Dulu aturan dibuat dengan tujuan baik. Namun “man behind the gun”nya tak disiapkan. Manusianya jadi abai. Terkadang paranoid berlebihan. Dan diujung itu meledaklah kekacauan. Berperang dalam rumah besar Indonesia. Siapa musuhnya?. Kamu. Mereka yang tak sependapat. Mereka yang berbeda. Dalam kacamata kuda, mereka yang disalahkan itu lebih banyak pemerintah atau polisi.  Atau bahkan DPR yang secara sadar dipilih dengan senyum dan doa dalam pesta pemilihan kemarin.

Saat kekacauan menyebar, perang berkecamuk dalam gelap. Saat hoaks lebih dipercaya dari kitab suci. Saat kita tak lagi bersaudara. Albert Einstein, fisikawan Jerman yang mengembangkan teori relativitas itu memberi pengingat yang penting. “Our defense is not in our armaments, not in science, not in going underground. Our defense is in law and order”.  Pertahanan kita bukanlah alat-alat perang, bukan kecanggihan sains, bukan pula bunker dalam tanah tempat sembunyi. Pertahanan kita adalah hukum dan keteraturan. Hukum baiknya dipercayakan saja pada mereka yang ahli karena mereka pasti akan taat asas saat membuatnya. Sedangkan keteraturan dengan “K” hanya tercipta jika kita patuh dan saling percaya. (red)