Anak Kecil
Oleh: Hamdy M.
Zen
Pengajar Bahasa
Arab IAIN Ternate
“Ada yang bilang, masa
kecil adalah masa yang paling menyenangkan karena bisa bebas bermain tanpa
beban. Tapi sayangnya, kebanyakan orang dewasa menganggap remeh anak-anak
karena dianggap tidak tahu apa-apa. Padahal banyak sekali nilai luhur yang bisa
diambil dari kehidupan anak kecil untuk orang dewasa.
Kalau sekarang kamu
merasa hilang arah sebagai orang dewasa atau merasa hebat sampai jadi sombong,
coba yuk lihat sejenak sifat anak kecil yang bisa jadi ‘teguran’ penting untuk hidupmu.
Beberapa diantaranya, sebagai berikut:
Pertama: Punya hati yang tulus dan rendah hati. Anak kecil memiliki hati
yang tulus dan rendah hati. Mereka siap membantu temannya tanpa meminta
imbalan. Tapi untuk orang dewasa, menemukan ketulusan adalah hal yang sukar.
Banyak yang punya niat tersembunyi demi mendapatkan keuntungan pribadi.
Ketulusan dan sikap
rendah hati anak kecil mengajarkan kita untuk tak lupa memiliki nilai moral.
Jangan sampai tejebak pada ketamakan yang hanya mementingkan diri sendiri. Selain
itu, anak kecil juga berani mengungkapkan apa yang dipikiran.
Apa yang ada di dalam
pikirannya, ia tak sungkan untuk mengungkapkannya. Hal ini mengajarkan kepada
kita tentang sikap berani mengeluarkan pendapat. Tak perlu takut salah. Ketika
salah itu urusan belakang yang utama adalah keberanian. Kalau pun salah, pasti
akan dikoreksi bersama. Di sini, keakraban lantas datang. Hidup berdampingan
dan penuh kasih sayang pun terjalin bagai mengalirnya air seirama dan selalu beraturan.
Kedua: lelucon kejujuran yang kongkrit. Ada sebuah kisah lama di suatu desa.
Pada suatu ketika seorang anak kecil, pergi ke kebun bersama ayahnya. Waktu
itu, maaf, sementara dalam suasana bulan puasa. Singkat cerita, Sesampainya di kebun, mereka
pun mendapati buah nangka yang sudah matang di pohonnya. Karean aroma buah
Nangka tersebut begitu menggoda, membuat si anak ini ingin melahapnya. Sementara waktu
masih siang. Tapi karena kemauan untuk makan si anak terlalu tinggi, maka sang
ayah pun mengiyakan dia untuk memakannya.
Ketika si anak makan, sang
ayah malah kian tergoda juga. Akhirnya, sang ayah pun ikut makan. Setelah
mereka selesai makan, si ayah berpesan kepada anaknya, nak nanti pulang, jangan
bilang siapa – siapa kalau kita makan buah nangka ini ya. Anak tersebut menganggukan kepalanya
pertanda setuju dengan pesan ayahnya tersebut.
Sesampainya mereka di
kampung, si anak kembali bersama teman – teman sejawatnya untuk bermain. Ketika
asik bermain, karena saking takut perbuatanya ketahuan orang, maka sang ayah
mendatangi anaknya dan kembali berpesan seperti yang ia pesan di kebun tadi.
Tapi dengan bahasa sederhana “Nak jangan lupa pesan ayah tadi ya” Begitu seterusnya sampai
berulang - ulang.
Dan ketika hendak
pulang ke rumah, dalam kerumunan banyak orang, si ayah kembali berkata “nak jangan lupa pesan ayah tadi ya”. Spontan
anak kecil tersebut berkata kepada ayahnya yang sementara di hadapan banyak
orang “ iya ayah, saya tidak akan bilang ke siapa – siapa bahwa tadi kita makan
buah Nangka di kebun ”. Sekian.
Ilustrasi cerita singkat di atas, menjelaskan kepada kita
tentang kepolosan dan kejujuran yang mungkin bagi sebagian orang seperti sebuah
lelucon. Tapi inilah faktanya. Bahwa anak kecil itu selalu berkata apa adanya.
Kejujuran yang paling utama bagi mereka. Padahal coba kita lihat kembali lebih
teliti. Pesan sang ayah, disuruh berbohong. Dan dia mengikuti, tapi ikutannya
dengan kebohongan yang jujur.
Sebagai orang dewasa, apalagi yang sudah bertahta,
kejujuran semacam ini selalu disembunyikan. Yang selalu ditunjukan malah
kebohongan bersama. Lihatlah istilah – istilah lama “ korupsi berjama’ah atau
biasa yang penulis sebut dengan geng ster korupsi. “Semakin kian merajalela.
Penumpang gelap pun demikian adanya, semakin mengkilap. Potret transasksi
jabatan seperti transaksi dagangan. Digelapkan, sayang dunia sudah terlanjur
terang. Maaf, inikah yang dibilang habis gelap terbitlah terang? Ataukah gelap
semakin gelap dan terang malah kesiangan? Entahlah. Hanya kita dan Tuhan yang
tahu. Tabea.
Ketiga: suka menangis. Mungkin dengan kebiasaan
menangisnya anak kecil, membuat kita menjadi risih dan merasa terganggu. Tapi
pernahkah sejenak kita berpikir kenapa mereka menangis? Bukankah hidup itu
penuh dengan hukum kausalitas? Tak mungkin ada asap, tanpa ada api bukan? Nah,
ternyata hal yang sama juga terjadi bagi menangisnya anak kecil. Pasti ada
sebab yang membuat lahir tangisan ikhlas mereka. Bisa jadi karena haus, lapar,
ngantuk dan lain – lain.
Tak jarang kita melihat anak kecil yang menangis ketika
diberi susu langsung diam. Hal ini menunjukan tangisnya disebabkan karena dia
merasa lapar atau haus. Begitu pun ketika diberi makanan lalu dia menjadi tidak
menangis. Ini megindikasikan bahwa si anak lagi lapar. Lalu, ketika dibujuk
untuk tidur, tangisannya juga ikut terhenti. Maka hal itu berarti, si anak lagi
diterpa bayang – bayang ngantuk. Dan seterusnya.
Mari kita telusuri dengan kaca mata hati nan jernih.
Ketika lapar sang anak menangis dengan tujuan agar kita dapat memberi makan
atau minum kepada mereka berupa susu atau makanan. Mereka tidak mau kelaparan
juga kehausan. Sebab rasa itu menyakitkan. Jika kita bersikeras untuk tetap
diam saja tak menghiraukan, maka tangisan mereka tak akan berhenti bahkan malah
kian menjadi – jadi.
Apa maksud dari semua itu? Maksudnya adalah mereka
memberi warning kepada kita bahwa dalam menjalani hidup dan kehidupan ini, kita
mestinya saling berbagi. Ketika punya rezeki yang lebih, tengoklah ke kiri. Di
sana ada orang yang masih menderita dalam kelaparan. Berilah mereka sedikit
makanan untuk menghilangkan sakitnya lapar yang mereka rasakan. Lalu, tengok
pula ke kanan. Di sanan pun masih banyak yang kehausan. Ambillah sedikit
minuman untuk diberi ke mereka agar dahaganya lepas berganti senyuman.
Pandanglah ke atas, mintalah pada yang Teratas. Lalu
lihat ke bawah dan renungkan perbuatan kita. Begitu kejamnya sifat kita. Rakus,
serakah, sombong, kikir, iri dengki dan sejenisnya ternyata masih setia membahu
di pundak kita. Membuat kita buta melihat kemelaratan sesama.
Sebagai pemegang tahta,
kita mestinya berjiwa kstaria. Dan sebagai pemangku jabatan, harus pula kita
bersikap dermawan. Lantangkan suara, tak ada lagi tangisan bagi kita juga
mereka. Tak ada lagi lapar, haus dan tidur yang terlantar di sepanjang trotoar
juga di kolong jembatan yang tak wajar. Kita mestinya hidup sejajar. Bukan
malah saling kejar, apalagi dengan saling melempar batu nan nakal. Bukan kawan.
Jangan pula kita menghajar dengan kebohongan besar dan kasar. Na’ujubillah.
Mari berlindung kepada Allah.
Tangisan anak kecil
bukanlah tangisan tanpa makna. Tangisan mereka mengingatkan kita akan rasa.
Rasa cinta, kasih dan sayang antar sesama. Bahwa lapar, haus, dan sejenisnya
itu sakit. Maka tak seharusnya kita biarkan siapa saja merasakan itu. Jika tak
mampu memberi, paling tidak jangan sampai melukai. Mungkin penting diterapkan
sebuah ungkapan klasik “ jika tak bisa memperbaiki, setidaknya jangan merusak”.
Akhirnya, penulis hanya
dapat berkata “mari jalankan hidup dan kehidupan ini, layaknya anak kecil, yang memiliki
hati yang tulus dan ikhlas, yang mampu mengungkap apa yang ada di dalam
pikirannya, yang siap bersikap jujur walau dalam lelucion dan selalu menangis
melihat kesakitan yang diderita sesama dan siap menghapus air mata kita yang
terluka dengan saling berbagi kasih dan sayang untuk semua”. Sekian. Tabea.
Suba jo.
Komentar