Berbagilah, Berbahagialah

Oleh: M. Kubais M. Zeen
Editor, Penulis Freelancers.

“Tanpa cinta, segala perbuatan
tak akan dihitung pada masanya.”
(Jalaluddin Rumi)

Sudah cukup lama saya mendengar orang-orang berkisah tentang sosok lelaki yang rajin berbagi dari pundi-pundi hasil peluhnya: kendaraan, rumah, dan uang.

Kediamannya di dua kota: Ternate dan Jakarta, tak hanya jadi jannaty (‘surga’) bagi diri dan keluarganya. Orang lain, termasuk yang sedaerah dengannya juga merasakannya. Bahkan, orang-orang yang pernah mampir selama beberapa waktu di kediamannya di Jakarta, mengaku saat pulang disediakan tiket maskapai berkelas, plus uang saku. Di ibu kota negara ini pula, jika ada orang sedaerah berpapasan dengan dirinya, tak lupa ia ulurkan tangan, memberikan uang.

Sehari sebelum ramadhan, saya berusaha memenuhi janji bersua di kediamannya. Sejak pagi, tamu silih berganti mengucap salam—etika memasuki rumah yang diajarkan agama. Semua tamu dimuliakan. Hanya tamu tertentu yang ingin menyampaikan hal-hal penting dan strategis, mojok dengannya selama beberapa menit, kemudian gabung kembali dengan tamu lainnya, membincangkan hal-hal aktual.

Hari itu, kebahagiaan berbagi terpancar dari yang memberi maupun yang menerima. Kebahagiaan ini terasa makin berarti karena virus corona yang menyebabkan penyakit Covid-19, menggerus pendapatan. Sementara malamnya sahur. Ia punya cara tersendiri berbagi tak di depan tamu. Seorang tamu mengungkapkan, lelaki itu juga jadi penyumbang dana terbesar kedua suatu kegiatan organisasi etnis beberapa waktu lalu di Ternate.

Oh iya..sosok lelaki itu ialah H. Usman H. Sidik, yang akrab disapa Obama. Kesederhanaan dalam kedermawanan pengusaha muda sukses ini mengingatkan saya pengusaha berdarah Tiongkok sahabat bisnis ayahku dulu. Juga prasangka bahwa orang tajir, di rumah pun tetap neces, buyar dengan sendirinya ketika melihat Obama hanya mengenakan kaos oblong dipadu celanda pendek.

Tapi, taksiran saya, selama dua hari di kota ini jelang bulan suci ramadhan itu, Obama sudah menghabiskan seratusan juta uangnya untuk berbagi kepada sesama di tengah situasi pandemi yang membuat hidup terasa makin hambar saat ini. Kebiasaan berbagi yang dilakukan Obama tersebut menambah daftar orang-orang hartawan dermawan yang tercatat dalam sejarah peradaban manusia.

Berbagi kebaikan merupakan ajaran sosial Islam yang tak kalah penting dari ibadah murni (shalat, puasa, haji), kerana manusia adalah mahluk sosial, dan Tuhan menyeru agar manusia berlomba-lomba dalam mengukir kebaikan.

Orang yang suka berbagi, kata KH. Mustofa Bisri (2016), ialah manusia yang kuat karena mampu mengalahkan diri sendiri, sebagaimana diingatkan Nabi Muhammad Saw., bahwa jihad yang paling besar ialah melawan atau menaklullan hawa nafasu diri. Karena itu, berbagi atau dermawan merupakan salah satu sikap yang luhur, selain tawadhu, adil, dan seterusnya. Sebaliknya, orang yang tidak suka berbagi, sekalipun berharta dan otomatis kuat secara ekonomi-sosial dan politik, namun dikategorikan lemah karena miskin sikap luhur. Sebab, di hadapan harta miliknya sendiri, orang kikir tak berdaya melawan desakan kepetingannya sendiri.

Berbagi tanpa pamrih ialah cermin niat atau hati yang tulus ikhlas. Ibn ‘Athaillah as-Sakandari mengatakan setiap amal perbuatan adalah niat, bukan tindakan beramal. Sufi besar ini mengumpamakan niat tanpa keikhlasan bagai tubuh tak berjiwa. Keikhlasan, bagi Sayyid Sabiq yaitu perkataan, amal perbuatan, dan jihad seseorang dengan tujuan hanya mengharapkan rihda Tuhan. Bukan sanjungan, pangkat, harta, dan kemasyhuran. ”Sesungguhnya Allah SWT tidak akan melihat badan dan rupa kita. Akan tetapi Dia melihat pada hati kita”, demikian sabda Nabi Muhammad Saw.

Athaillah menyebutkan tiga golongan yang ikhlas dalam beramal. Pertama, ahli ibadah, yang beramal hanya kepada Allah agar amalannya dibalas Allah dengan pahala (surga), dihindarkan dari neraka. Kedua, golongan muhibbin, yang beramal semata karena kecintaannya pada Allah, bukan untuk mendapatkan pahala atau dihindarkan dari siksa neraka. Ketiga, ahli marifat. Jika mereka beramal maka yang mendorong dan menggerakkan amalannya adalah Allah. Mereka sama sekali tidak mempunyai daya dan kekuatan untuk melakukan sesuatu kecuali atas pertolongan Allah.

Mengenai berbagi demi mencari keridhaan Allah, dengan indah diumpamakan oleh Allah SWT: “Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiramnya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.” (QS.Al-Baqarah [2]: 265).

Kekayaan yang harus dinafkahkan untuk mencari “keridhaan Allah dan keteguhan jiwa” pada ayat tersebut, tidak bisa dicapai dengan riya (Engineer, 1993). Mungkin karena itulah, saat mengulurkan tangan untuk membahagiakan sesama, Obama tidak memperlihatkan di muka tamu. Juga tak pernah menyebut, mengungkit-ngungkit besarannya pada siapapun. Orang-orang yang menuturkan kepada saya kebiasaan Obama berbagi sejak dulu itu pun tidak pernah menyebutkan kata pamer atau riya dari sikap maupun ucapan Obama yang dinilai memberi didasari cinta yang tulus pada sesama.

Dalam kondisi daerah dan bangsa seperti saat ini, kita membutuhkan lebih banyak lagi orang-orang tajir laiknya Obama yang berbagi tanpa pamrih demi kemanusaiaan manusia. Berbagilah, berbahagialah. (*)

Komentar

Loading...