If what you do is in vain, always seek within
(Mancius, Filsuf, 372 SM- 289 SM)
Masanori Takahashi, yang dikenal dengan nama profesional, Kitaro (lahir 4 Februari 1957), mungkin sudah kita ketahui, merupakan seorang musisi, komposer, dan arranger asal Jepang, yang terkenal dengan musik elektronik- instrumental, pada pementasan resital-nya (1993), mencoba menampilkan gubahan simponi yang menawan. Sebuah penampilan sang musisi sejati.
Nomor-nomor rancak seperti, Matsuri, Reimei, Orochi hingga Heaven and Earth, meluncur deras, ditingkahi lengkingan biola. Dentuman bedug raksasa dan racikan irama khas melalui jemari yang menari-nari di atas tuts synthesizer-nya. Di sana juga ada interval. Dan, seluruh nomor lagu tanpa syair (instrumentalia) itu, bagai hidup, flawless, menenun gelora jiwa bagi yang menikmatinya. Mengherankan, dari lagu yang dibawakan, Kitaro selalu menyisipkan “nada diam”.
Sebuah pause, atau interval. Kalau dinikmati dan dicermati secara serius, nada diam itu justru menjadi penentu bagi penampilan musiknya. Tak sekadar obyek atau sasaran antara. Tapi juga subyek, sekaligus penanda dan identitas.
Ya, diam adalah reculer. Diam bukanlah hidup tanpa gerak. Diam bukanlah kepasifan. Diam merupakan usaha mengistirahatkan keletihan, akibat beban pikiran yang berat. Diam tidak sekadar melepas ketegangan. Lebih dari itu, diam mampu menghadirkan perspektif baru. Diam sebagai wadah introspeksi dan merenung. Hikmahnya, di mana kita berada dalam diam, kita bisa mendengar denting yang paling halus sekalipun. Dengan diam, kita bisa memaknai bisikan nurani yang telah lama kita abaikan. Dengan diam, kita teringat janji yang terlupakan. Dengan diam, segala kelemahan diri mampu dibaca. Dengan diam, kita dapat membangun postulasi keheningan yang dari sana kita bisa menjahit kembali kepingan kekeliruan menjadi bentangan pemahaman dalam meretas jalan kehidupan. Reculer juga bisa menjadi kritik atas diri sendiri (otokritik), karena dari keheningan, dari keterdiaman, kita bisa menyelam dalam makna yang tak terduga.
Harus disadari, sekian lama kita terjebak pada berbagai persoalan yang tak pernah ada ujung pangkalnya. Darimana harus memulai, dan di mana harus berhenti, tak pernah jelas. Kita acap kali memulai dari pertengahan untuk memecahkan sebuah persoalan. Atau kerap dimulai dari akhir, bahkan dari awal, tanpa sedikit pun mampu dihentikan atau dituntaskan apa yang dikerjakan itu. Tak jarang metodologi yang dipakai juga jungkir balik, yang berimbas pada kekeliruan sistematis berpikir yang juga centang perenang, yang karut-marut. Toh, kita tak pernah sedetik pun mau diam memaknai segala kekeliruan yang telah dilakukan.
Memang dibutuhkan waktu sejenak untuk mencari diam. Diam itu harus diciptakan diri sendiri. Dan itu, berarti kita mencoba keluar dari sengkarutnya tali temali persoalan yang –mungkin saja—kita ciptakan sendiri.
Persoalan yang kini dihadapi bangsa ini (dan tentu Maluku Utara), mulai dari persoalan kepemimpinan, korupsi, hutang yang kian menumpuk, kebijakan yang tidak konsisten, lingkungan dan alam yang rusak, atau hak-hak publik yang terabaikan, serta sejumlah kasus yang sedikit banyak telah menelanjangi dan mencoreng wajah negeri di tengah gelombang demokratisasi, otonomisasi, dan oligarki yang kian menebal. Ternyata, kita membutuhkan waktu sejenak untuk merenung. Proses pencarian itulah yang harus terus dilakukan. Pencarian ke dalam diri memang harus dilakukan, jika setiap komponen merasa bertanggungjawab atas masa depan negeri ini.
Bila tak ada proses reculer, tak ada diam sejenak, kita telah mengabaikan fitrah kemanusiaan hakiki. Fitrah kemanusiaan selalu merujuk pada kebenaran primordial. Kebenaran primordial merupakan poros bagi setiap usaha manusia mencapai ridha Tuhan. Mencapai kebenaran primordial harus melalui proses pencarian yang terus menerus, dan itu dibutuhkan pause, interval, dan reculer. Bukan dengan gempita dan sorak-sorai yang hanya memberikan interpretasi bahwa kita sesungguhnya memiliki kelemahan. Bagaimana memahami diam itu dalam konteks yang lebih riil? Mungkin saatnya kita istirahat sejenak, diam sejenak untuk tidak menghambur-hamburkan waktu pada hal-hal yang tidak prinsipil. Saatnya pula kita tumbuhkan sikap belajar dari kelemahan diri sendiri.
Berangkat dari sini, filsuf kenamaan Imammuel Kant (1724-1804), misalnya berpendapat bahwa di dalam setiap individu politik terdapat kekuatan “ular” sebagai simbol kelicikan dan “merpati” sebagai simbol ketulusan. Apabila individu politik tersebut tidak berorientasi pada ketulusan merpati, dan semata bersandar pada kelicikan ular, maka sungguh politisi demikian, merupakan politisi tidak bermoral –demikian kacamata pandang moralitas individual.
Mari, mulai belajar diam sejenak, mengendapkan hati, batin, dan pikiran menghadapi kekeliruan yang boleh saja dilakukan di hari-hari kemarin. Luangkan waktu melakukan reculer untuk menghadapi hari-hari ke depan dengan penuh optimisme.[]
Tinggalkan Balasan