Oleh Ardiansyah Fauzi
(Juuru Bicara AMAN jilid 2)
Sebagai sebuah ingatan sejarah, masa lalu adalah sebuah negeri yang asing dan senantiasa asing. Ketika kita berusaha melakukan rekontruksi selalu mengandung metamorfosis, terutama jika kita sadar bahwasannya masa lalu seperti sebuah teks dengan bahasa yang berbeda-beda dan mesti diterjemahkan. Tiap terjemahan mengandung transformasi karena dilakukan dalam waktu dan suasana yang berbeda. Bagaimana cara membaca masa lalu yang bersifat rasional dan memang harus rasional walau terkadang hadir sebagai ‘geist’? Adalah dengan kejujuran, meski agak sulit dilepaskan dari dimensi politik yang memeluknya kala embun turun sampai senja mengabur.
Semacam sebuah riwayat, kami memiliki pertalian yang belum terlalu panjang, walau begitu, masa teramat pendek tadi memiliki kualitas sepadan dengan sejarah yang tiba di pelabuhan pertama.
Di penghujung 2014, satu nama tiba-tiba mencuat ke permukaan, hampir separuh diskurs politik lokal di isi dengan nama tersebut. Sebagian besar masyarakat tak mengenalnya, bahkan percaya nama yang asing tersebut hanya penggembira, figur yang sekadar lewat, dan bisa jadi berada diurutan paling buncit dalam konstestasi (meminjam istilah orang kiri) politik elektoral di tanah para Sultan kala itu. Tanpa sadar, nama asing yang terus dibicarakan dengan rasa pesimis kuat, suatu hari berubah jadi kekuatan besar, brandingnya tumbuh bersama rasa penasaran orang-orang. Asing namun tak teralienasi, terjual sempurna, lalu menjadi gerakan politik massa. Serupa gelombang salju, dan pada puncaknya kandidat incumbent pun harus menelan pil pahit diakhir kompetisi. Ia mengalahkan pesohor pesohor lain yang dalam kalkulasi banyak orang sesuatu yang tak mungkin, tapi realitas politik sudah berbicara atas nama asing tersebut, final.
Benar adanya, bahwa seorang pemimpin akan lahir jika sudah waktunya, meskipun dari orang orang yang tidak kita kenal sedikitpun.
Di pelayaran sejarah yang tiba tadi, orang bertanya tanya cemas; Apa yang telah lewat dan terlewatkan. Perubahan sudah sampai dimana? Sang tuan telah membawah kita menuju apa? Seberapa jauh lagikah perjalanan ini?
Pertanyaan-pertanyan itu seperti itu yang sering hinggap di kepala Flaneur, seorang pejalan dengan kepribadian yang mudah takjub sekaligus kritis terhadap kebaruan, Walter Benjamin menyebutnya figur urban yang menonton dan mengamati kota selayaknya seorang detektif. Ia adalah individu merdeka di abad ke 19, sementara di abad ke 21, di era digital, kemerdekaan individu sepertinya telah dirampas habis oleh smartphone dan selfie. Lakon Flaneur kemudian tergantikan oleh ‘badaud’, pribadi yang juga mudah takjub, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi tapi kehilangan nalar kritis.
Kita hari ini, apabila anda bertanya apakah si tuan punya tesis yang spesifik untuk penyelesaian masalah yang konkret? Kemungkinan anda mengajukan pertanyaan yang tidak terlalu produktif. Hal-hal tak produktif dan lebih terkesan pamer diri adalah ciri seorang badaud, maka jangan heran setiap periode sirkulasi kekuasaan kita semakin kehilangan Flaneur, sosok kritis yang kita harapkan terus hadir mengawal sebuah kepemimpinan.
Perjalanan pulang kampung sang Capten, setelah lama mengembara dan menjelajahi tanah rantau, membawa gagasan, bahwa Tidore Kepulauan adalah bayang-bayang kolektif tentang polis (kota). Capt Ali Ibrahim menolak pengotakan tentang Tidore dan Oba, terlihat dari beragam narasi yang turut menyusun kerangka berpikirnya. Ia menolak batasan ruang dan waktu, bahwa ruang kehidupan tak bisa dibangun dengan batas yang keras begitu pula kepemimpinan. Kosmopolitanisme Ali Ibrahim tercermin dari pemahamannya bahwa laut bukanlah pemisah pulau dan daratan, setiap orang tak terbedakan baik agama, suku, ras maupun pilihan politik, tak ada orang Tidore dan orang Oba, menyatu dan tunggal dengan identitas yang satu, baik secara moral, ekonomi, maupun dalam struktur politik.
Genealogi pemikiran sang Capten bisa kita lacak, meskipun terasa ambivalen, namun ada titik berangkat yang sama, andai kita mau sedikit membuka diri untuk menerima kebenaran yang datang. Memang selalu saja ada persimpangan, jalan bercabang, tetapi yang paling penting selalu ada titik temu setelah perpisahan. Sang Capten sedari awal hendak menumbuhkan politik beradab, dengan tetap mengedepankan rasionalitas, tak sekalipun terdengar beliau menyerang para pesaingnya, malah dirinya yang terus menerus diserang. Ia pribadi yang humanis, terlihat dari sikapnya yang inklusif dan begitu pemaaf.
Barangkali ia paham, jalan terbaik menyiasiati kota yang bergerak cepat seperti peluru, efektif tapi tak menjanjikan kesempatan bertukar pikiran, dan masih penuh dengan kesenjangan adalah dengan terus menerus berupaya mendorong demokrasi substasial. Pilihan pasangannya kemudian jatuh pada seorang politisi handal, petarung yang memulai kariernya dari dasar paling curam, tiga periode memenangi pertarungan legislatif dengan memperoleh suara terbanyak, begitu kuat di akar rumput. Modal itu dirasa cukup oleh sang Capten untuk menang, bukan sebatas memenangkan kekuasaan semata tetapi juga memenangkan gagasan besar untuk Tidore Kepulauan. Muhammad Sinen menjadi tandem yang mutualisme. Kekurangan sang Capten bisa ditutupi oleh sang petarung dari utara, begitu sebaliknya.
Ujian pertama datang ketika sang Capten hendak meminang Muhammad Sinen (MS). Ia baru saja dilantik menjadi anggota DPRD dan menjabat sebagai ketua komisi 3. Dan ini bukan pilihan mudah bagi MS, karena aturan mengharuskan ia mundur jika hendak mendampingi sang Capten. Hari hari melelahkan, masa masa paling bergejolak dalam hidup mantan sang motoris. Saya menjadi saksi paling dekat kala itu karena merupakan anggota komisi yang dipimpin MS. Beberapa kali ia berbicara kepada saya tentang pinangan politik ini, sambil mengisahkan sebuah mimpinya disuatu malam yang kemudian menjadi kenyataan di hari esok. Dalam mimpi itu seperti alm ibunya datang berbicara, menguatkan hati sang anak, ada pesan paling misterius yang alm sampaikan lewat mimpi itu. Bukan sebatas bunga tidur, mimpi tersebut yang dikemudian hari menuntun sang petarung dari utara berani mengambil sikap. Kami berbicara cukup intim waktu itu, ketika detik-detik pinangan politik ia terima. Ada hal yang tidak saya lupakan dari percakapan 4 tahun lalu, MS dengan tegas mengatakan kepada saya; Jika pasangan AMAN (akronim dari kedua kandidat) menang, ia akan tetap mendampingi sang Capten dua kali, dan akan tetap sebagai Wakilnya. Ucapan itu bisa dipegang dan sepertinya akan ia lunasi saat ini, jika tak ada aral melintang maka tunai sudah janji bakti mendampingi sang Capten untuk periode kedua.
Sejak berlakunya UU 32 tahun 2004, kemudian Pilkada pertama digelar di Kabupaten Kutai Kartanegara yang berlangsung pada bulan juni 2005. Dari data data yang terbaca, baru di Tidore Kepulauan pasangan Pilkada yang di periode pertama kemudian bertarung lagi di periode kedua masih dengan pasangan yang sama. Biasanya yang terjadi adalah otak-atik pasangan, mungkin karena revalitas terbangun semata-mata untuk memenuhi hasrat kuasa saja sehingga incumbent nomor satu cenderung tak nyaman dengan wakilnya, sehingga mesti disingkirkan. Lalu, diperiode kedua berganti pasangan atau sebaliknya Wakil tak nyaman menjadi orang kedua terus sehingga mengambil sikap berhadap-hadapan. Sang Capten mungkin memahami benar, bahwa kata incumbent sendiri juga memiliki makna kemuliaan, yang artinya meminimalisir konflik kepentingan sebisa mungkin ditubuh kekuasaan agar harmonisasi bisa tercipta sehingga tugas-tugas yang sudah diamanahkan oleh rakyat bisa dieksekusi, hanya dengan situasi kondusiflah segala program-program kerakyatan bisa dituntaskan.
Sejarah kepemimpinan yang harmonis di abad milenial sedang di tenun di Tidore Kepulauan. AMAN yang dulu akan tetap sama dengan AMAN hari ini, dengan mengusung visi besar ‘Tidore Jang Foloi’ diharapkan mampu untuk mendorong perubahan yang lebih baik lagi, memangkas kesejangan, dan mengupayakan kebaikan bersama dengan bersandar pada falsafah Toma Loa Se Banari bisa diwujudkan.
Tinggalkan Balasan