TERNATE-pm.com, Korban kecelakaan Lalu Lintas (Lakalantas) di Kota Ternate meminta keadilan agar pelaku bertanggujawab.

Korban atas nama Nurmiyati Bagit (56) meminta Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Ternate dan Pengadilan Negeri (PN) Ternate segera menahan terdakwa.

Terdakwa atas nama Nala Hi M Saleh itu belum ditahan meski statusnya sudah sebagai terdakwa perkara Lakalantas. Nala merupakan pegawai Bandara Sultan Baabullah Ternate itu.

Terdakwa Nala dari proses hukum di Satlantas Polres Ternate hingga pelimpahan berkas di Kejari dan Pengadilan Negeri (PN) Ternate belum kunjung ditahan.

Korban dalam perkara ini mengalami patah tangan tulang lengan kanan, sehingga dilakukan tindakan operasi, bahkan saat ini mengalami cacat.

Korban melalui kuasa hukumnya, M Bahtiar Husni, menerangkan kecelakaan lalu lintas terjadi di lampu merah Kelurahan Salero, Kecamatan Ternate Utara pada 12 Juli 2024 sekira pukul 11.00 WIT.

“Saat itu pelaku diproses hukum oleh Satlantas Polres Ternate dan berkasnya telah diserahkan ke Kejari hingga PN Ternate,”kata Bahtiar saat jumpa pers Sabtu (22/2/2025).

Bahtiar menerangkan, perkara tersebut telah dilakukan persidangan dengan agenda pembacaan dakwaan pada Rabu pekan lalu. Kemudian akan dilanjutkan pekan depan pada Rabu (26/2/2025) dengan agenda pemeriksaan saksi.

“Namun yang menjadi kekecewaan klien kami itu terdakwa sampai saat ini tak kunjung ditahan, ada apa dengan proses hukum ini. Karena terlapor atau trdakwa setelah kejadian itu mengatakan kepada korban mau bertanggung jawab, namun sampai saat ini tidak ada pertanggungjawaban,”ucapnya.

Bahtiar menceritakan, bahwa setelah kejadian, korban dibawa ke Rumah Sakit Tentara (RST) Ternate. Namun saat itu pelaku mendengar biaya operasi yang diminta rumah sakit terbilang cukup besar, sehingga keberatan dan mengeluarkan korban dari rumah sakit dan meminta korban melakukan pengobatan dengan pijat tradisional.

Selang beberapa pekan kemudian, kata Bahtiar, tangan kanan korban mengalami pembengkakan cukup serius, karena terjadi gumpalan-gumpalan darah akibat benturan keras saat kecelakan.

“Melihat situasi yang tidak kondusif lagi kepada korban, sehingga anak korban menghubungi pelaku namun tidak ada respons. Kemudian korban dilarikan ke RSPAD Gatot Soebroto di Jakarta untuk dilakukan tindakan medis,”tuturnya.

Selain itu Bahtiar menyampaikan, saat itu dokter menyatakan tindakan cepat harus dibawa ke rumah sakit yang tepat. Jika tidak, bukan tidak mungkin tangan korban bisa diamputasi. Atas kejadian ini, korban merasa dirugikan dan meminta pertanggungjawaban.

“Namun sampai saat ini tidak ada pertanggungjawaban dari pelaku. Bahkan, dalam proses hukum ini walaupun berjalan sebagaimana mestinya, namun terdakwa saat ini tidak ditahan,”jelasnya.

Menurut Bahtiar, dalam proses ini, ada tebang pilih dalam perkara. Karena, kalau terkait dengan dakwaan JPU pada pasal 310 ayat (3) UU nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan sudah jelas bersangkutan bisa dilakukan penahanan,.

“Namun anehnya dari tingkat kepolisian, kejaksaan sampai pengadilan itu tidak dilakukan penahanan. Bahkan sampai saat ini juga tidak ada proses ganti kerugian biaya yang dikeluarkan oleh korban. Semetara terdakwa juga tidak ada itikad baik untuk menyelesaikan,”tandasnya.

Direktur YLBH Maluku Utara itu menambahkan, pihaknya berharap agar majelis hakim dalam perkara ini yang sudah menyidangkan dapat menahan terdakwa, kalau tidak ada tebang pilih dalam proses perkasara itu.

“Karena korban tidak menerima baik perkara ini. Yang jelas korban sudah dirugikan, kemudian tidak ada proses ganti kerugian,”cetusnya.

Akibat insiden ini Bahtiar mengungkapkan, korban yang bekerja sebagai karyawan kantin di Hypermart tidak bisa lagi bekerja untuk menafkahi keluarganya sampai saat ini, karena tangan kanannya tidak lagi berfungsi normal. Apalagi saat ini korban sudah mengalami cacat akibat kelalaian itu.

“Suami dari korban ini hanya tukang ojek. Sehingga itu, kami sangat berharap ada keadilan dalam proses hukum ini, agar dapat memberikan keadilan kepada korban,” harapnya.

Bahkan, korban juga mengakan mengaku, saat dirawat di RST, tindakan operasi dituntut untuk dirujuk ke RSU Dharma Ibu. Saat hendak melakukan tindakan, pihak rumah sakit meminta biaya pengobatan sebesar Rp35 juta sebelum tindakan operasi.

“Untuk total biaya kalau sampai selesai sekitar Rp70 jutaan. Padahal awalnya pelaku sudah suruh masuk di rumah sakit, setelah itu dihubungi untuk tindakan dari dokter tapi Nala/pelaku tidak mau, sehingga saya dikeluarkan dan tidak jadi dilakukan tindakan operasi,” ujar Nurmiyati.

“Setelah itu, anak saya sendiri yang bawa saya untuk operasi di Jakarta. Saat itu, kata dokter kalau terlambat sudah tidak mau tangani lagi. Untung cepat, kalau lewat dua hari waktu itu tangan diamputasi. Sedangkan biaya operasinya Rp96 juta, kalau ditambah dengan biaya balik kontrol dan sebagainya sudah Rp100 juta lebih,” pungkasnya.

Mag Fir
Editor