Sambil bersiap, sekitar pukul 07.12 WIB Jum’at, 1 September 2023, saya berjalan dari area Kutek menuju ke Kampus, Fakultas Ilmu Budaya melewati gerbang kecil Fakultas Teknik di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Saya membaca sebuah tulisan menarik dari salah satu media ternama di Malut. Tulisannya sangat menarik yang bertajuk “Jalan Panjang Membangun Ternate” dari seorang jurnalis senior yang juga sebagai teman diskusi. Saya sering menyapanya dengan sapaan Bang Budhy.
Membaca tulisannya, seperti membaca referensi baru tentang bagaimana New York jatuh bangun membangun kotanya pada masanya. Harus diakui imajinasi dan keberanian dari Edward Koch mampu membangkitkan kota yang pernah terpuruk.
Akan tetapi, nyatanya, Kota New York yang awalnya sudah melewati jalan yang terkoyak-koyak atas pembangunan saat awal didirikan. Sebagai bahan informasi, Kota New York awalnya sebagai pos dagang komersil oleh Belanda pada tahun 1624. Sehingga dahulu area itu dinamai sebagai Amsterdam Baru.
Hingga 1664, ketika koloni ini berada di bawah kekuasaan Inggris. New York berperan sebagai Ibu Kota Amerika pada tahun 1785 hingga 1790. New York telah menjadi kota terbesar di Negara Amerika sejak 1790. Jika berkaca pada masa Edward Koch atau yang disapa Ed Koch (Wali Kota New York 1969-1977), New York sudah menghadapi tantangan yang panjang sejak 1790 sampai 1969-1977. Dilengkapi dengan wall street (walaupun pernah hancur) di Lower Manhattan, saat itu sudah ada persaingan antara New York City bersaing dengan London sebagai ibu kota keuangan dunia.
Jalan panjang kota New York City, menjadi penguatan atas kekuatan sumber daya Manusia yang mereka miliki. Mereka punya keberanian untuk mendobrak sistem ekonomi dunia, mereka telah mampu membangun industry spider webs yang mengikat. Mereka terlalu tangguh soal itu.
Jika saya bisa memberi sebuah kesimpulan sementara, tulisan Bang Budhy ini telah mampu membuat pembaca lemah seperti saya ini, memberi sebuah kesimpulan, yang mudah-mudahan itu benar. Tulisan tersebut memberi gambaran, antara keberanian kepemimpinan dan mengharapkan jiwa kepemimpinan seperti Ed Koch yang harus ada di Ternate. Jika ini sebagai bahan bacaan tentang keberanian membangun kota, maka tidak menjadi suatu masalah, tetapi jika mengharapkan wacana kepemimpinan Ternate dalam mengelola pemerintahan, maka kita butuh lebih dalam melihat proses pembahasan terkait kepemimpinan Kota Ternate dari awal hingga saat ini.
Membandingkan subjek Kota Ternate dan Kota New York, perbedaannya sangatlah jauh.
Akan tetapi, bila perbandingan itu kita komperasikan dengan kota maju di Indonesia seperti DKI Jakarta, maka ini akan “sedikit rasional” walaupun ini juga ada perbedaan, tetapi setidaknya sama-sama sebagai Ibu Kota Negara (walaupun ibu Kota Negara New York telah dipindahkan ke Washingtong D.C).
Membaca Ed Koch dengan metode keberaniannya yang mengangkat keterpurukan ekonomi perkotaan saat itu dan sebagai pemimpin dalam mengelola Ibu Kota Negara, saya malah teringat sosok Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta 1964-1966.
Mungkin saja, sosok Ed Koch bisa disandingkan dengan sosok Ali Sadikin dan akan lebih menarik pembahasannya. Sebagai bahan perbandingan, Ali Sadikin juga lebih “radikal”. Pernah membuat Kota Jakarta lebih mengenal pembangunan modern pasca kemerdekaan dan memberikan sentuhan kebudayaan di dalamnya yang heterogen, saat ekonomi Negara ini masih terpuruk. Selain itu, Kewenangan Ali Sadikin membuat pemerintah DKI Jakarta mengambil langkah-langkah kebijaksanaan baik bersifat preventif, maupun represif terhadap perjudian. Dalam upaya melokalisir penyelenggaraan judi pemerintah DKI Jakarta saat itu memanfaatkan hasil pajak judi sebagai salah satu sumber keuangan daerah.
Apapun itu, Pembangunan kota sejatinya ialah soal komitmen membangun, menerima kritik atau masukan dari semua pihak. Tegak lurus demi kepentingan terhadap Masyarakat, dan menyediakan pelayanan dengan proses penguatan penganggaran daerah, itu lebih penting dari apapun.
Harus disadari, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan di Kota Ternate, dan pekerjaan rumah ini harus dituntaskan dengan komitmen dan waktu. Tugas kita sebagai masyarakat harus mengingatkan kepada pemimpin agar tidak keluar dari “rel” komitmen yang telah disediakan.
Seperti apa yang disampaikan oleh Rizal Malarangeng, yang juga mengutip quotes dari Jhon F Kennedy, “We campign with poetry, but we govern with prosa”. Yang artinya, “Kita berkampanye dengan Puisi dan Memerintah dengan Prosa”. Apa arti semua ini, bahwa pemimpin saat berkampanye, akan memberikan syair-syair pembangunan yang enak di dengar, mengutarakan Visi-Misinya, saat sebagai pemerintah maka harus menggabungkan bentuk monolog dan dialog untuk membuat komitmen dalam perencanaan pembangunannya kedepan.
Penuh harap, semua kepemimpinan yang berani harus berawal dari niat baik dan daya inovatif untuk membangun, bukan hanya bermodal berani dan “radikal” semata, dalam merencanakan dan membangun, seperti yang dicontohkan seorang Ed Koch, mereka dengan kota maupun negara-nya telah melewati beberapa etape keterpurukan. Dan dimasa itu, mereka telah kuat secara sumber daya manusia serta punya kelebihan dalam segala sektor. Sampai saat ini, secara pribadi saya masih meyakini bahwa pemimpin dari awal Ternate ini menjadi kota, it’s not really that perfect, semua punya kelemahan dan kelebihan, karena setiap pemimpin menghadapi situasi kota yang juga berbeda-beda. Tinggal bagaimana kita lihat secara rasionalitas tentang target pembangunan dan waktu kinerjanya.
Walaupun berbeda dalam pandangan dan oponi ini, merawat rasionalitas intelektual wajib harus diutarakan. Sebagai bahan diskusi, saya dan Bang Budhy sepakat untuk memperkuat dan merawat jalan intelektualitas. Saya spesialkan tulisan singkat ini sebagai bahan perbandingan kepada senior saya yang juga sebagai jurnalis senior yang sering berdiskusi dengan saya, tentang apa saja saat kita bersua di warung kopi.
Tinggalkan Balasan