Oleh: Ghalim Umabaihi

(Mahasiswa Pascasarjana UAJY &Pegiat Literasi Independensia)

Kota dimaknai ruang berkemajuan melampaui desa dan kampung. Kemajuan itu ditandai dengan infrastruktur bangunan-bangunan, maupun laju perputaran ekonomi lantaran tersedia pelbagai macam pasar dan jasa pelayanan. Termasuk tempat hiburan bertaburan menghiasi keramaian kota. Karena itu masyarakat desa cenderung ramai-ramai datang bermukim dan menetap di kota hingga terjadi kepadatan penduduk. Di situlah pangkal pelbagai penyakit kota seperti pencurian, kriminalisasi, ketimpangan sosial dan kemiskinan mulai mewabah.

Agar terhindar dari ragam penyakit itu, kota mesti tak melulu mengurusi keramaian dan hiburan, tapi hendak berurusan pendidikan agar berkemajuan mengimbangi laju keramaian kota. Sebab, kota tanpa kelayakan sumber daya pendidikan, penduduk akan kekeringan ilmu dan moral. Tak saling menghargai, mengambil hak orang lain, saling mengganggu, menyakiti, hingga mengancam nyawa orang lain adalah wujud nyata penduduk tak terdidik. Itu mengapa, pertumbuhan kota mesti diikuti kemajuan pendidikan.

Menurut Basri Amin (dalam Irman Saleh, 2016), sebuah kota yang maju bukan hanya merupakan hasil dari visi dana aksi tertentu yang konsisten, melainkan sekaligus sebagai pembentuk perilaku bersama bagi warganya, dan siapa saja yang datang di kota itu. Pada tingkat yang sederhana, perilaku membentuk kota kemudian selanjutnya kota akan membentuk perilaku penduduknya.

Dengan kaidah ini yang dibutuhkan adalah sejenis ‘rekayasa’ yang saling membentuk secara timbal balik, saling mengisi tanpa henti. Dengan begitu, kemajuan kota beriringan dengan kemajuan penduduknya. Di era ini wujud kota semacam itu harus pula dikembangkan berbasis teknologi informasi. Konsep ini disebut sebagai Smart City (kota cerdas).

Di Indonesia menurut Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tahun 2017, urgensi smart city disebabkan oleh bertambahnya tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggal di perkotaan sebesar 2,75 persen per tahun. Bahkan, sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) diprediksi penduduk yang tinggal di perkotaan sebesar 56,7 persen pada 2020. Jumlah ini akan meningkat menjadi 66,6 persen pada 2035 (Kompas.com, 9 November 2018).

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menyebutkan, ada delapan indikator smart city: smart development planning, smart green open space, smart transportation, smart waste management, smart water management, smart building, dan smart energy. Delapan indikator ini adalah inovasi dari konsep green city yang digabungkan dengan penggunaan sistem teknologi informasi dan komunikasi pintar. Indikator tersebut yang akan menjadi target membangun smart city di Indonesia.

Beberapa kota di Indonesia kini telah mencoba menerapkan konsep smart city, antara lain Jakarta, Surabaya, Bandung, Tangerang, Bogor, Bekasi, dan Binjai. Jakarta, misalnya, sejak 2015, Pemerintah Provinsi DKI resmi meluncurkan program Smart City. Program ini diklaim makin mempermudah kinerja aparat Pemprov agar lebih cepat merespon keluhan warga.

Warga dapat mengakses smartcity.jakarta.go.id.Smart city juga menyediakan informasi setiap hari tentang headway atau jarak antar-bus baik saat jam sibuk, maupun tidak, sehingga manajemen lalu lintas bus bisa tepat waktu.

Portal ini juga digunakan untuk memonitor banjir, truk sampah, mesin berat, dan lain sebagainya. Selain itu, ada aplikasi yang dapat digunakan secara dua arah. Masyarakat mampu menyampaikan aspirasi melalui pengaduan real time.    

Penerapan konsep smart city makin banyak diikuti oleh kota-kota lain di Indonesia, sehingga mendapat perhatian dari media dan tentu saja lembaga riset. Buktinya, pada 9 Januari 2019, Kompas memberi penghargaan kepada 12 kota pemenang Indeks Kota Cerdas Indonesia (IKCI) 2018 di Gedung Kompas Gramedia Jakarta.

Beberapa kategori kota-kota itu di antaranya: Kota Metropolitan (Surabaya, Semarang, Tangerang Selatan), Kota Besar (Denpasar, Surakarta, Malang) Kota Sedang (Manado, Salatiga, Yogyakarta),  dan Kota Kecil (Padang Panjang, Sungai Penuh, Solok). 12 kota pemenang ini menerapkan konsep smart city berdasarkan enam dimensi yang dikembangkan Boyd Cohen, pegiat kota cerdas internasional.

Keenam dimensi itu pun mencakup lingkungan cerdas, mobilitas, pemerintahan, ekonomi, masyarakat, dan kualitas hidup. Dimensi masyarakat dengan indikator keterhubungan internet, penetrasi telepon seluler, partisipasi warga, tingkat pendidikan, imigrasi, dan pekerjaan industri kreatif memperoleh pembobotan skor paling tinggi.

Kata Daisy Indira Yasmin, salah satu juri IKCI, yang juga sosiolog Universitas Indonesia, secara sosiologi, yang cerdas sebenarnya adalah warga kota. Memang, ada internet, aplikasi, dan platform, tetapi rohnya adalah rasa kebersamaan.

Sementara sebagai perwakilan salah satu kota pemenang, Wali Kota Padang Panjang Fadly Amran mengatakan, implementasi kota cerdas dimulai dengan membangun manusia, di antaranya melalui pendidikan berkualitas. Sebab, kualitas manusia merupakan faktor utama pembangunan kota (Kompas, 10 Januari 2019).

Itu artinya kota cerdas adalah wujud nyata dari manusia cerdas yang teraktualisasi pada setiap laku dalam ruang sosial perkotaan. Karena itu pula, kita berharap 12 kota pemenang IKCI benar-benar representasi kemajuan manusia sekaligus sebagai tanda kemajuan Indonesia.

Sebab hingga kini masih banyak kota-kota di Indonesia belum mengimbangi pertumbuhan kota dengan pendidikan yang berkualitas, termasuk beberapa kota di Maluku Utara. Di Ternate, misalnya, kemajuan pendidikan masih terjebak dengan jumlah lembaga pendidikan formal, seperti sekolah dan perguruan tinggi. Dan, tak didukung dengan sarana-prasarana yang memadai: laboratorium, perpustakaan yang layak, dan akses internet di kampus.

Begitu pula dengan ruang publik, seperti taman kota, masih juga terjebak dalam estetik fisik, keramaian dan romantika, sehingga fasilitas pendukung edukatif masih terabaikan. Padahal kita berharap, Ternate termasuk bagian dari Kota Cerdas, yang berurusan kualitas pendidikan, lingkungan, industri kreatif, inovatif, dan kebersamaan masyarakat. Tapi, barangkali harapan masih menanti perbaikan lewat anggaran dan kebijakan pemerintah, termasuk partisipasi masyarakat. []