Muhlis Wahid

Wakil Redaksi LPM Kultura & Aktif di Independensia

Moluku kie raha yoma fato-fato

Ternate, Bacan, Tidore se Jailolo mari moi ngone foturu

Maronga lamo Ternate, Ternate,,,

Wosa mote dahisa filonga ifatingara

Wosa mote daou e,,, jamtara ijaga ngara

Wosa mote daku tara

Iye mangiri ma nyiri

Sebagam sito hida bubanen ternate jang foloi.

Sejak SMA aku sering mendengar lagu-lagu daerah Maluku Utara (Malut) di nyanyikan oleh teman-teman Pramuka dan Palang Merah Remaja (PMR) setiap kegiatan perkemahan. Dan hampir anak-anak muda berbaju putih abu-abu itu, di mana pun ketika ada event pasti meluangkan waktu menyanyikan lagu berjudul “Moloku Kie Raha”.

Dari awal masuk SMA pada 2011 sampai lulus di 2014 lalu, lagu daerah tersebut sangat melekat dalam diri dan seakan menjadi lagu favorit siswa-siswi SMA Negeri 10 Kota Ternate kala itu. Moloku Kie Raha memiliki arti “Empat Gunung”. Pada setiap gunung yang terletak berjejeran itu, berdiri empat kesultanan dengan gelarnya masing-masing. Bacan sebagai Dehe Makulano, Jailolo Jiko Makolano, Tidore Kie Makolano, dan Ternate Alam Makolano. Penyebutan itu berkembang dan populer di masyarakat Maluku Utara sampai saat ini.

Lagu “Maluku Kie Raha” adalah ciptaan Amry yang pertama kali dinyanyikan oleh M. Samadi. Kemudian dipublikasikan lewat youn Tube pada sekitar 12 Januari 2013, lalu cukup populer di tahun-tahun itu juga. Lagu tersebut disukai semua kalangan, baik tua maupun anak-anak muda. Sebab, kelebihan lagu Maluku Kie Raha, bisa dinyanyikan ke dalam bebarapa bentuk genre sesuai selera.

Di awal boomingnya lagu daerah berbahasa Ternate itu, membuat anak-anak muda di Malu Utara terkesima, kala menyimak setiap liriknya yang mengandung pesan historis, serta menggugah dan membakar semangat perlawanan. Lagu tersebut juga memperkenalkan keunikan, serta memantik kesadaran generasi muda tentang nilai penting bahasa daerah sebagai identitas diri yang harus tetap dipertahankan, agar tidak hilang di tengah lajunya perkembangan zaman. Karena itulah, setiap pemain gitar maupun penyanyi pemula senang mempelajari dan menyanyikan lagu Moloku Kie Raha.

Selain itu, lagu Moloku Kie Raha mengandung nilai-nilai persatuan seperti beberapa penggal liriknya “Mari Moi Ngone Foturu”, bermakna himbauan persatuan untuk menjaga kerukunan hidup masyarakat di empat kesultanan di Maluku Utara, berdasar pada budaya dan adat seatorang. Sebab, hanya lewat persatuan, kita akan menjadi kuat dalam menjaga surga kecil yang rimbun akan kearifan dan budaya lokal peninggalan sejarah.

Namun sangat disayangkan, di tengah pesatnya revolusi digital yang mempermuda setiap orang mendapatkan pelbagai macam informasi, malah membuat generasi muda milenial mengalami kemerosotan moral dan pergeseran gaya hidup yang cenderung mengabaikan bahkan melupakan budaya serta nilai-nilai kultural Maluku Utara. Lagu tradidsional Moloku Kie Raha telah asing ditelinga generasi milenial, bagai diterpa ombak ke bebatuan terjal. Hanya menyisahkan buih di permukaan air laut yang keruh.

Keadaan tersebut, semakin diperparah dengan lemahnya penghayatan serta pengamalan pendidikan baik formal, informal, maupun non-formal. Bandung Mawarda dalam bukunya berjudul Pendidikan, Tokoh, Makna dan Peristiwa (2017), menuliskan bahwa pengalaman saat sekolah menjadi pengalaman mengelola identitas, menata martabat, menguak nasib negeri, mengimajinasikan masa depan. Hal ini kalau tidak diseriusi pihak-pihak terkait, maka bagaimana identitas kebudayaan bangsa ini nantinya.

Senada dengan itu, Zainuddin M. Arie sastrawan Malut, penulis antologi puisi berjudul “Alif, Alam Makolano (2019)”, dalam satu kesempatan di ruang Perpustakaan Independensia berkata bahwa lagu-lagu sebelum 1970-an lebih banyak menyampaikan pesan-pesan moral religius, ketimbang lagu-lagu setelah 1970-an yang kering akan nilai moralitas. Hal tersebut selaras dengan kondisi lagu-lagu tidak beretika yang dikonsumsi kalangan milenial dan masyarakat di setiap angkutan umum, seperti mobil mikrolet serta di ruang-ruang publik lainnya.

Padahal seharusnya lagu-lagu menjadi medium pembelajaran, seperti dikemukakan Jaremy Wallach dalam buku “Musik Indonesia 1997-2001” (…) bahwa pada 1970-an genre lagu daerah memiliki indentitasnya sendiri. Seperti lagu Tebang “Iler-iler” di Jawa, ciptaan Sunan Ampel yang sarat akan makna religius, yang kemudian didokumentasikan dalam “film Sahid dan Wahidproduction Anggri Ratnaningrum.

Di sisi lain Albert Bandura lewat teori kognitif sosial menjelaskan, bermula dari pengakuan atas proses belajar, manusia di tentukan oleh interaksinya. Saat ini, lagu yang dihafal dan dinyanyikan hanya sekedar menghibur, karena tidak memiliki pesan pembelajaran yang mampu mendidik tindakan dan perilaku hidup kaum milenial.

Lagu-lagu juga seharusnya merupakan ekspresi interaksi yang sarat akan nilai estetik religius, medekatkan manusia pada alam dan Tuhan. Di situlah, proses didikan sosial bertindak. Akan tetapi, hal itu tidak lagi mampu didudukan generasi milenial saat ini. Mereka hanya sekedar mendengarkan tanpa mempelajari makna yang terkandung dalam setiap lagu.

Kondisi ini, semakin diperumit oleh derasnya perkembangan zaman yang membawa masuk dan mempercepat peredaran lagu berbudaya barat atau hip-pop yang tidak sesuai serta cenderung merusak falsafah dan nilai-nilai sosio-kultural di seluruh wilayah nusantara. Sehingga tak heran bila lagu-lagu daerah seperti Moloku Kie Raha tidak lagi diminati generasi milenial penerus perjuangan bangsa.

Olenya itu, demi menghindari kemerosotan moral yang lebih para lagi, dibutuhkan adanya formulasi baru di bidang ini. Agar pendidikan dan kebudayaan yang berorientasi pada usaha untuk memupuk dan meningkatkan kecintaan pada budaya lokal bisa tercermin jati diri bangsa yang sarat akan nilai-nilai filosofi regius.[]