Oleh : Mirnawati Udin
Setiap sore, sebelum matahari kembali ke peraduannya, wanita paruh baya itu selalu berdiri memunggungi ratusan mata yang sudah hapal betul kebiasannya ; menanti kepulangan.
Dua tahun silam, suami dan anaknya dengan berbekal ubi rebus dan ikan kakap yang diasapi di tungku dapur beratap rumbia itu mencoba berdamai dengan lautan namun malang rupanya tak dapat ditolak, perahu suami dan anaknya ditemukan seorang nelayan hanyut terbawa arus. Tidak ada siapapun didalamnya, bahkan ubi rebus dan ikan kakap kesukaan suaminya. Mak Ija namanya dan Ia tidak menangis sedikitpun, sesekali mulutnya yang polos tanpa polesan gincu itu komat kamit entah merapal do’a atau mencoba kuat diantara tatapan sendu bapak kepala desa, sanak saudara dan orang orang dikampungnya.
“meraka masih hidup, mereka akan pulang, mereka menyuruhku menunggu” kalimat terakhir yang keluar dari mulutnya, setelah itu dia tidak lagi berbicara dengan siapapun.
Seperti biasa, pada bulan Desember pantai dikuasai oleh ombak besar, ombak yang memutih.
“ini bulan tak baik buat nelayan” kata pemilik warung kopi seakan berbicara pada dirinya sendiri meski tangannya sibuk mengaduk kopi yang ditambah dengan sedikit jahe katanya bisa buat nambah stamina, bahkan kemarin saat bujang yang tinggal disebelah rumahnya pulang dengan tangkapan ikan yang besar,dengan bangga pemilik warung berteriak “itu karena bujang sering ku kasih kopi”.
Desember kali ini genap 2 tahun menghilangnya suami dan anak wanita paruh baya ini. Aku ingat betul waktu itu dia berkata pada ibuku “anakku baru pertama kali diajak melaut” sambil tertawa memperlihatkan barisan giginya yang rapi, tangannya tak henti- henti melambai pada anak dan suaminya. aku tak melihat sedikitpun rasa khawatir di matanya, padahal kata ibu bulan Desember ombak kadang datang tanpa bisa kita duga.
27 Desember 2017. Aku ingat betul hari itu. Angin bertiup begitu kencang saat Pak Taufan tetangga rumahku pulang dari laut. dengan nafas memburu dan suara yang terbata – bata berlari menuju kerumunan orang di warung. “perahu pak Sabri hanyut, tapi tidak ada pak Sabri dan anaknya, saya sudah berusaha mencari tapi ombak di lautan begitu besar, saya tidak mampu melawan arus yang kuat” pak Taufan menjelaskan dengan sisa tenaganya.
Kampung dibuat geger dengan hilangnya pak Sabri dan anaknya. Saya dan ibu menuju rumah Mak Ija. sudah banyak orang di rumahnya, kebanyakan para ibu karena yang lelaki ramai – ramai mencari pak Sabri di tengah hujan yang mulai mengguyur.
Mataku mencari sosok mak Ija diantara kerumunan. aku mendapatinya bersandar dipintu papan yang sepertinya tidak lagi mempu menopan beban. Ia tak berbica sedikitpun, hanya sesekali menghapus keringatnya dengan kemeja suaminya yang entah dari kapan menggantung dibahunya. Ia seperti punya dunia sendiri.
Saat mayat anak dan suaminya tak pernah pulang, aku kerap kali berpapasan dengannya. Meski tak pernah lagi berbicara, dari matanya aku bisa melihat kekosongan. tak ada luka di sana, sungguh tak ada!.
Kini, Ia terlihat seperti seorang pesakitan yang menunggu waktu. entah itu untuk memburu rindu, atau mati di tikam pilu.
Tinggalkan Balasan