Oktober

Oleh : Asghar Saleh
Saat zaman Romawi, musim dingin yang menyerang
di awal tahun membuat aktivitas mati. Karenanya kalender selalu dihitung dari
bulan Maret, jadinya saat memasuki bulan ke delapan, muncullah nama Oktober
yang berasal dari kata Okta atau delapan. Jadi bulan ini dalam penanggalan
Romawi sejatinya adalah bulan ke delapan. Bukan ke sepuluh seperti yang
digunakan saat ini. Delapan yang melingkar dan tak putus mewakili sesuatu yang
dirindukan. Sebuah simbol merujuk pada kesatuan yang lahir dari pertentangan.
Karena itu, Oktober tetap seksi dan selalu dikenang.
Di Indonesia, Oktober
bisa berarti "belanga."
Meminjam pepatah asam di gunung, garam di laut bertemu dalam “belanga”.
Begitulah kita mengingat pertemuan besar sejumlah anak muda yang “menandai”
dirinya sebagai “Kami” yang bersumpah. Di ujung Oktober 1928 itu, ratusan anak
muda dari Jong Java, Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Minahasa, Jong Ambon,
Jong Islaminten Bon, Pemuda Betawi dan banyak lagi melaksanakan Kongres Pemuda
II. Ini perjumpaan kedua karena dua tahun sebelumnya, mereka juga berkumpul
meski dalam jumlah yang relatif homogen.
Sebagaimana
perjumpaan asam dan garam, ada proses dalam “belanga” yang menjadikan perbedaan
rasa jadi sama. Ada kreatifitas yang bergairah. Karenanya ada banyak tangan
yang berkutat, bau asap, dapur yang berantakan, keringat lalu aroma Indonesia
yang satu. Ratusan anak muda itu yang datang dari beragam suku – meminjam
Bennedict Anderson dalam Imagined Communities - tengah membayangkan sebuah
negara, sebuah komunitas yang besar. Di dalamnya ada sumpah yang menyatukan
tanah air, bangsa dan bahasa dalam satu ikatan imajinatif.
Konstruksi imajinasi
Oktober 1928 itu kemudian dideklarasikan dalam imajinasi yang baru dan lebih
mendunia oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945. Selepas Proklamasi yang
mengguncang itu, imajinasi bernegara kita dirujuk pada cita-cita bersama yang
memuat banyak harapan untuk sejahtera rakyatnya. Lalu Indonesia bergerak.
Tertatih, berdiri dan berlari. Kadang mulus kadang terantuk patahan. Sebagai
bangsa, kita beberapa kali mengalami patahan, berdarah dan terpuruk. Ada
patahan 1965 yang hitam dan penuh misteri, lalu terakhir, patahan berlabel
reformasi yang menumbangkan Soeharto Mei 1998. Namun sejarah menulis, setiap
patahan kemudian melahirkan kebangkitan. Demokrasi misalnya tumbuh sebagai
“mesin” yang dipercaya membawa kestabilan entah politik atau sosial ekonomi. Di
ujungnya ada kesejahteraan.
Dengan harapan
“kesejahteraan”, orang yang berbeda saat pesta demokrasi dalam pemilihan
Presiden maupun kepala daerah misalnya, lebih menjadi menerima. Kekalahan
dimaknai sebagai kodrat meski dengan cara samar. Sedangkan yang menang dituntut
memenuhi janji “kesejahteraan”. Jika tak terwujud, lahirlah ambiguitas yang
membelah. Kegagalan atau sukses dipersepsikan sebagai batas antara yang baik
dan yang buruk. Padahal orang lupa, jika dalam banyak jejak sejarah yang
ditulis, pertentangan antara kebaikan dan keburukan tak pernah selesai. Tak ada
pemenang. Lalu muncullah amarah karena tuntutan yang tak terpenuhi, kekecewaan
dan ketidakadilan.
Pada periode ini,
pemimpin jadi aktor yang perlu hadir lewat proses demokrasi yang jujur dan
terbuka. Tanpa huruf akhir “n”, dia bisa merefleksikan banyak harapan orang
kebanyakan sebagai pemimpi. Ada visi yang diucap. Ada program kerja yang
dituliskan. Ada kehendak mewujudkan. Dan ‘n” dibagian akhir bergabung sebagai
sebuah dukungan yang diserahkan oleh rakyat.
Karena itu, setiap pemimpin menuliskan mimpi banyak orang secara
sendirian dan mengajak mereka bekerja secara bersama.
Oktober lima tahun
lalu, Indonesia dengan bangga memilih Jokowi. Ribuan orang seperti air bah
mengalir memberi dukungan untuk lelaki kurus ini. Mereka yang “rela” itu
membuat stiker, pamflet, brosur, poster, desain kaus lalu dibagikan. Jutaan
jumlahnya dan gratis. Jokowi “dirupakan” seperti Tintin. Slank yang sudah lebih
dulu terkenal memperkenalkan salam dua jari. Lalu laki laki, perempuan, anak
anak yang “rela” itu menamakan dirinya “relawan”. Namanya “rela” pasti tanpa
pamrih. Kerja yang penting Jokowi menang. Dan akhirnya memang menang. Semua
yang rela itu terikat pada harapan. Ada semacam “percaya” bahwa Jokowi yang
bukan keluarga kaya, bukan politisi, bukan turunan bangsawan dan karenanya
bukan siapa siapa, akan mampu mewujudkan harapan kesejahteraan.
Jokowi nyatanya mampu
melunturkan ketegangan politik. Usai terpilih, Ia menyingkirkan pagar pembatas.
Tak ada mereka (bagi yang tak memilihnya)
dan yang ada hanya kami dan kita. Kita kemudian mengenal Nawa Cita sebagai
jalan perubahan yang jumlahnya sembilan itu. Ada komitmen membangun Indonesia
dari pinggiran, kemandirian ekonomi, revolusi karakter bangsa, pemberantasan
korupsi dan beberapa lainnya. Infrastuktur dikebut terutama di daratan. Tol
laut diperkenalkan sebagai misi penyatuan maritim yang berimplikasi
pengembangan ekonomi. Dalam tiga bulan pertama setelah dilantik, Indeks
Kepuasan terhadap kinerja Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla berada
pada poin 65,1%. Sebagaimana hasil survey Litbang Kompas, kepuasan publik
bahkan mencapai poin tertinggi pada April 2018 yakni 72,2 %. Namun sebulan
jelang pelatikannya sebagai Presiden di periode ke dua, tingkat kepuasan
terhadap kinerja Jokowi turun hingga 58,8 %.
Meski banyak prestasi
hebat di bidang infrastruktur, reformasi birokrasi dengan titik tekan pada
percepatan pelayanan, kestabilan makro ekonomi, peningkatan kualitas hidup
lewat pembagian “kartu”nya, divestasi Freeport, politik luar negeri yang makin
berdaulat dan beberapa capaian positif lainnya, namun semua itu tak direspons
secara linear oleh publik. Secara politik, kemenangan Jokowi yang berpasangan
dengan KH Ma’ruf Amin tak segemilang periode pertama. Tak ada gebyar “relawan”.
Ada perjuangan berat meski posisinya adalah petahana.
Saya menduga
merosotnya tingkat kepuasan publik lebih disebabkan oleh gonjang ganjing UU KPK
yang direvisi itu meski ini urusan DPR yang sejak awal getol merubah. Sikap
diam Jokowi dan serangan “lawan” jadi pembenaran jika semangat pemberantasan
korupsi mulai dikompromikan. Lalu ada isyu TKA khususnya Tiongkok yang
mereduksi semangat kemandirian ekonomi. Belum lagi kebakaran hutan, ekspoitasi
SDA dan soal Papua.
Dalam sebuah diskusi Otonomi Khusus Maluku
Utara, beberapa teman menjustifikasi “kegentingan” Papua sebagai problem
kebangsaan yang mesti diatur dengan pendekatan budaya. Tak sekedar pendekatan
pertahanan dan keamanan.
Bagi saya, problem kebangsaan yang lebih
serius dan jadi kerja berat Jokowi di periode kedua adalah soal Aceh. Meski
Papua dan Aceh diberi fasilitas otonomi khusus tapi respons keduanya berbeda.
Papua yang kita baca masih bergumul dengan tuntutan keadilan ekonomi. Mereka
merasa terlalu banyak yang diberikan sedangkan yang kembali belum seberapa.
Infrastruktur juga selalu diributkan. Ada saparatis yang “mencuri” dalam rasa
ketidakadilan itu untuk berteriak merdeka. Terjadi kekacauan, konflik berdarah.
Dan semuanya Nampak nyata. Mudah dipetakan.
Berbeda dengan Aceh
yang “diam” tapi terus bersiap. Sejak otonomi khusus diberlakukan paska
perjanjian Helsinki, rakyat di sana didoktrin dengan semua yang serba
"Aceh". Perwakilan Rakyat yang terpilih disebut DPR Aceh. Ada hukum
lokal, partai Aceh, ekonomi Aceh. bank Aceh. Apapun namanya selalu ada Aceh.
Jika telah terbiasa, mudahlah digerakkan. Saya sebut gerakan model ini dengan
perjuangan konstitusi destruktif. Hanya perlu sedikit pergeseran untuk
“lepas”. Selain itu, problem serius
lainnya adalah makin maraknya intoleransi dan
radikalisme yang kadang berwajah terorism. Ketimpangan ekonomi jadi
alasan padahal sejatinya ada upaya membongkar NKRI.
Oktober ini, Jokowi
Ma’ruf dilantik. Kita tak berharap ada pesta
kegembiraan seperti dalam Oktoberfest di Munich Jerman untuk
memperingati pernikahan Pangeran Ludwiq dan Puteri Theresia lebih dari seabad
silam. Kita masih punya harapan bahwa kesejahteraan bukan imajinasi. Dan
karenanya “pemimpin” tak bisa dibiarkan dalam kesendirian. Memutuskan dalam
sunyi. Ia jangan hanya mengatur tetapi juga diajak kerja bersama. Setelah fase
pembangunan infrastruktur yang gegap gempita itu, saatnya kesejahteraan dengan
“K” dibumikan secara personal pada setiap orang.
Ini bukan lagi cerita
tentang jalan tol, jembatan layang bertingkat, kapal besar, palapa ring atau
politik yang merangkul mereka yang kalah. Tetapi lebih pada bagaimana perut
kenyang, listrik murah, air mengalir tanpa hambatan, sekolah nyaman, pekerjaan
diperebutkan dengan adil, lingkungan tak rusak dan Indonesia masih utuh dari
sabang hingga Merauke. Tentang ini, Friedrich
Nietzsche memberi sepotong interupsi, “sama seperti masa lalu, masa depan
juga memengaruhi masa kini. Dengan ini pula kita menemani Jokowi- Ma’ruf
bekerja. (*)
Komentar