Oleh M. Ghufran H. Kordi K.
Pengamat Sosial
“Pendidikan usia dini, adalah pondasi
membangun SDM unggul yang beretika
dan bermoral, berarti membangun pondasi
peradaban yang berkeadilan dan berkemanusiaan.”
(M. GHUFRAN H. KORDI K.)
Fase Perkembangan Otak
Menurut para ahli, otak manusia mengalami pertumbuhan antara 60-70 % ketika manusia berumur antara 0-5 tahun. Karena itu, pada usia tersebut dikenal sebagai tahun emas (gold year) bagi pertumbuhan otak manusia. Para orang tua, pengasuh, pendidik, dan guru harus tahu ini, untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat membahayakan pertumbuhan otak anak, di sisi lain dapat menstimulan perkembangan dan mengenali kecerdasan pada anak.
Faktor gizi, pengasuhan, dan lingkungan sangat berperan dalam membantu pertumbuhan dan membentuk perkembangan otak pada usia dini. Gizi yang cukup dan seimbang tidak hanya penting untuk pertumbuhan fisik seorang anak, tetapi juga menyusun dan memelihara sel-sel otak. Pengasuhan yang baik akan merangsang perkembangan otak seorang anak secara optimal. Sedangkan lingkungan (rumah dan sosial) berperan membantu seorang anak “menemukan” dan menumbuhkan kecerdasannya.
Karena itu, pendidikan anak usia dini (PAUD) yang menjadi tempat pengasuhan dan pembelajaran seorang anak usia 3-5 tahun, menjadi ruang yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan otak seorang anak. Institusi PAUD menjadi “jembatan” bagi upaya ini, karena tidak semua orang tua atau pengasuh memiliki pengetahuan dan ketrampilan pengasuhan (parenting skill). Demikian pula, lingkungan anak tidak selalu mendukung pertumbuhan dan perkembangan otaknya.
PAUD bukanlah institusi yang mengambil alih pengasuhan dan pembelajaran seorang anak di usia dini, tetapi PAUD mengisi sebagian ruang kosong yang tidak dapat dipenuhi oleh orang tua atau pengasuh di rumah, terutama menemukan dan menumbuhkan/mengembangkan kecerdasan anak.
Bermain dan Perkembangan Otak
Bagi mereka yang mengikuti informasi di berbagai media atau selalu membaca akan mengetahui bahwa, beberapa anak Indonesia yang memenangkan media olimpiade internasional di bidang sains adalah anak-anak kampung/desa. Demikian juga, banyak ilmuwan besar, pengusaha besar, orang-orang sukses, baik dari Indonesia maupun dunia, berasal dari lingkungan desa/kampung, dan bukan berasal dari keluarga yang secara ekonomi maupun pendidikan mapan. Katakanlah, mereka berasal dari keluarga sederhana, yang hidup pas-pasan, bahkan miskin. Namun mereka menjadi manusia-manusia cerdas dan sukses dalam bidang mereka.
Salah satu rahasia sukses dari manusia-manusia super tersebut adalah bermain ketika masih anak-anak. Jangan kita sepelekan bermain bagi seorang anak. Betapa pentingnya bermain, sampai Konvensi Hak Anak (KHA) dan Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002 telah diubah dengan UU No. 23 Tahun 2014) menempatkan bermain sebagai hak anak yang harus diperolehnya (Pasal 31 KHA, Pasal 11 UU No. 23 Tahun 2002).
Bermain akan memperkuat otot-otot tubuh, merangsang perkembangan otak anak, membangun kerjasama kelompok, dan membangun kebersamaan dan solidaritas sosial. Anak yang kurang bermain atau kurang bergerak, selain mudah sakit dan memiliki fisik yang lemah, mengalami kegemukan dan berat badan lebih atau obesitas, juga biasanya memiliki kemampuan yang rendah dalam berinovasi dan berkreasi.
Suatu eksperimen terhadap tikus membuktikan bahwa, otak berkembang seiring dengan aktivitas, termasuk bermain. Tikus yang ditempatkan di ruang kosong selama beberapa lama, selain memiliki ukuran otak yang lebih kecil, tikus juga memiliki respon yang rendah ketika dirangsang. Sebaliknya tikus yang ditempatkan di ruang yang penuh dengan berbagai mainan, otaknya berukuran lebih besar dan sangat respon terhadap rangsangan dari luar.
Pendidikan usia dini atau kelompok bermain (play group), selain berfungsi memperkuat otot anak-anak, juga menumbuhkan dan mengembangkan otak. Otak anak berkembang karena rangsangan dari permainan maupun sosialisasi dengan teman sebayanya. Itu berarti PAUD atau segala upaya yang dilakukan untuk anak-anak usia < 5 tahun adalah kegiatan untuk menumbuhkan perkembangan otak dan menemukan kecerdasan anak.
Membangun Pondasi
Dalam teori psikososial, Erikson mengemukakan bahwa, kepribadian berkembang atas dasar serangkaian konflik, yang jika terselesaikan akan menghasilkan sense of self (rasa kedirian) yang lebih baik. Erikson membagi 8 tahap kehidupan di mana masing-masing memiliki krisisnya. Tahapan ini merupakan proses berkelanjutan, jadi kalau pada tahap sebelumnya krisis tidak diselesaikan dengan baik, maka akan memengaruhi tahap perkembangan berikutnya. Untuk anak usia 0-5 tahun, ada tiga tahap sebagai berikut :
Tahap 0-1 tahun. anak mengalami krisis percaya vs tak percaya. Jika terselesaikan, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang punya harapan terhadap dunia sekelilingnya. Hal ini bisa dicapai jika pada usia 0-1 tahun anak mendapatkan pengasuhan yang baik sehingga sebagai pribadi yang masih bergantung pada orang lain merasa percaya bahwa dunia ini adalah tempat yang aman. Untuk itu, ibu atau pengasuh perlu tanggap dan peka, jika anak menangis kelaparan segera diberi makan atau perlu diganti popok, dan sebagainya.
Tahap 2-3 tahun. Anak usia ini suka menjelajah dan mencoba berbagai hal. Jika tahap bayi (tahap 0-1 tahun) dilalui dengan baik, anak pasti punya rasa ingin tahu yang besar terhadap sekelilingnya. Oleh karena itu, anak memerlukan lingkungan yang memberi ruang kebebasan bagi dia untuk bereksplorasi agar tumbuh menjadi pribadi yang kehendak, bukan pribadi yang loyo atau pasrah. Lingkungan yang serba melarang (jangan ini, jangan itu, tidak boleh, dan sebagainya) akan membuat anak menjadi pemalu dan ragu, serta tidak berkembang kemandiriannya.
Tahap 4-5 tahun. Di usia ini anak perlu mengembangkan inisiatifnya agar tumbuh menjadi pribadi yang punya tujuan hidup. Untuk itu, anak perlu lingkungan yang memberi kesempatan padanya untuk berinsiatif dan bukan lingkungan yang serba menyalahkan tiap kali anak berusaha melakukan sesuatu sehingga ia menjadi anak yang dipenuhi rasa bersalah.
Perkembangan psikososial yang dikemukakan oleh Erikson, jika dihubungkan dengan perkembangan otak, maka semua proses tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran otak yang mengalami pertumbuhan pesat. Otak yang mendapat asupan gizi cukup dan seimbang serta mendapatkan lingkungan yang positif akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan maksimal, sehingga anak mampu mengembangkan kreativitas terkait kecerdasannya.
Institusi PAUD berada pada posisi strategis, karena PAUD membuka dan memberi ruang bagi tumbuhnya eksplorasi dan inisiatif anak. Eksplorasi dan inisiatif pada manusia terkait dengan kecerdasan dan itu adalah kerja otak. PAUD adalah institusi yang membangun pondasi bagi kecerdasan suatu bangsa. Artinya PAUD bagian penting dari meletakkan pondasi dalam membangun peradaban.
Menemukan Kecerdasan
Adalah Prof Howard Gardner, ahli pendidikan Amerika Serikat, yang dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa intelegensi atau kecerdasan sangat beragam. Gardner (1995) memetakan abilitas manusia (human abilities) ke dalam delapan kategori komprehensif yang disebut dengan multiple intelligence atau kecerdasan multiple, yaitu:
- Intelegensi liguistik (linguistic intelligence), berupa kemampuan manusia untuk menggunakan kata-kata secara efektif, baik lisan maupun tulisan, bukan hanya sekadar bisa membaca, berbicara, dan menulis secara nominal.
- Intelegensi logical matematikal (logical-mathematical intelligence), berupa kapasitas manusia dalam menggunakan angka-angka secara efektif, di mana kelak dipersiapkan untuk menjadi ahli matematika, akuntan pajak, atau ahli statistik.
- Intelegensi spasial (spacial intelligence), berupa kemampuan manusia untuk mencerna dunia visual spasial secara akurat, seperti pengembangan kecakapan dalam bidang ketrampilan artistik, dekorator, interior, dan arsitek.
- Intelegensi bodily kinesthetic (bodily-kinesthetic intelligence), yaitu keahlian manusia dalam menggunakan badani untuk mengekspresikan ide dan perasaan, seperti aktor, penyayi, penari, dan atlit/olahragawan.
- Intelegensi musical (musical intelligence), yaitu kapasitas manusia dalam mempersepsi, membedakan, mentransformasikan, dan mengekspresikan aneka bentuk musik, termasuk sensivitas ritme, melodi, dan warna musik.
- Intelegensi interpersonal (interpersonal intelligence) atau kemampuan manusia dalam mempersepsi dan membuat perbedaan dalam suasana, intense, motivasi, dan perasaan orang, termasuk sensivitas ekspresi muka, suara, mimik, kemampuan membedakan aneka wacana interpersonal secara pragmatis.
- Intelegensi intrapersonal (intrapersonal intelligence), berupa pengetahuan diri dari kemampuan untuk bertindak secara adaptif atas dasar basis keilmuwan yang ada padanya, misalnya kemampuan untuk secara akurat dalam memahami potret diri, baik keunggulan maupun kelemahan, kesadaran atas kesukaan pribadi, intense, motivasi, tempramen, kesukaan, kemampuan untuk berdisiplin diri, pemahaman diri, dan harga diri.
- Intelegensi alam-lingkungan, berupa kemampuan manusia memahami alam dan lingkungan.
Kedelapan jenis intelegensi tersebut di atas hanya dua jenis saja yang dikembangkan di dalam pendidikan formal di Indonesia selama ini, yaitu intelegensi logis matematik dan intelegensi linguistik. Tentunya perkembangan yang terbatas tersebut sangat memiskinkan perkembangan kebudayaan (Tilaar, 2000), karena itu orang disebut pintar kalau mendapat angka 9 (sembilan) atau 10 (sepuluh) pada mata pelajaran fisika,kimia, matematika, dan bahasa (terutama bahasa asing). Nilai tinggi di luar dari mata pelajaran tersebut biasa saja, bahkan tidak dianggap.
Ini menjadi masalah serius dalam pendidikan di negeri ini, karena hanya menggunakan kecerdasan otak kiri, sedangkan kecerdasan otak kanan tidak dikembangkan dan dieksplorasi. Padahal orang-orang kreatif dan kaya di dunia ini adalah orang-orang cerdas dengan otak kanan.
PAUD menempati posisi penting dalam membangkitkan dan menemukan kecerdasan multiple atau kecerdasan berganda. Karenanya pemerintah dan masyarakat harus menempatkan PAUD sebagai institusi yang dikembangkan secara serius. Dengan begitu, dalam waktu 30-50 tahun akan datang, Indonesia dapat melahirkan manusia-manusia unggul dalam segala bidang yang tidak hanya produktif, tetapi juga bermoral dan beretika.
Di dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) pada Tujuan 4 (Pendidikan Berkualitas), Target 4.2 disebutkan, menjamin semua anak perempuan dan laki-laki memiliki akses terhadap perkembangan dan pengasuhan anak usia dini, pengasuhan, pendidikan pra sekolah dasar yang berkualitas sehingga mereka siap untuk menempuh pendidikan dasar. Artinya, memajukan pendidikan usia dini juga menjadi komitmen dan kesepakatan global.[]
Tinggalkan Balasan