“A life spent writing has taught me to be wary of words. Those that seem clearest are often the most treacherous.” Amin Maalouf
Kata “Penolakan” akhir-akhir ini membanjiri dinding akun media sosial, terutama komunitas media sosial di Kota Tidore Kepulauan. Usut punya usut, tren “Penolakan” itu dipicu oleh mosi penolakan DRPD Kota Tidore Kepulauan terhadap APBD-P tahun 2021 Kota Tidore Kepulauan pada beberapa hari lalu. Miris.
Terkait kata “Penolakan”. Sebelum lanjut, kalimat terakhir pada paragraf pertama diatas penulis hanya menuliskan kata “miris” dan tanda titik (.) setelah mengingat dua kalimat pertama dari buku The name of identity (atas nema identitas) karya Amin Maalouf sebagaimana yang dikutipkan menjadi pembuka tulisan ini, diatas.
A life spent writing has taught me to be wary of words. Those that seem clearest are often the most treacherous, yang dapat di terjemahkan dengan “dunia menulis mengajarkan saya berhati-hati terhadap kata-kata. Sebab dalam kata-kata yang tampak sangat jelas seringkali berbahaya”.
Maka begitulah kata “Penolakan” dalam perspektif penulis terhadap sikap DPRD Kota Tikep dalam pembahasan APBD Perubahan tahun 2021. Yakni nampak jelas tetapi sangat mengandung bahaya. Asumsinya sederhana, apapun alasannya penolakan APBD tidak seharusnya terjadi.
Dalam sejarah perjalanan NKRI penolakan RAPBN pernah terjadi pada tahun 1960 menjelang pemilu, yang menyebabkan Presiden Soekarno membubarkan DPR dan membentuk DPR GR. Kemudian pada dekade terakhir ini, riak penolakan semakin sering terjadi terutama pada tahun-tahun politik, baik menjelang maupun sesudah pemilu, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah.
Dengan fenomena ini, kita tidak dapat menutup kemungkinan jika riak “Penolakan” sangat berhubungan erat dengan kepentingan-kepentingan partai politik. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa “Penolakan” biasanya datang dari pihak Partai oposisi dalam pemilihan umum.
Artinya bahwa “Penolakan” APBD yang dilakukan oleh DPRD disamping “atas nama rakyat” ada kepentingan politik lainnya yang turut serta dalam “penolakan” itu. Sehingga nampak jelas dalam kata “penolakan” DPRD mengandung bahaya terhadap rakyat itu sendiri karena bisa jadi disusupi oleh kepentingan yang diluar daripada kepentingan rakyat.
Lagipula, frasa “Penolakan APBD” yang nampak jelas itu, ternyata tidak ada acuannya dalam regulasi manapun di negara ini. Yang ada adalah frasa “APBD untuk di bahas bersama DPRD” sebagaimana yang tersurat dalam Permendagri nomor 64 tahun 2020, Peraturan Pemerintah nomor 12 tahun 2019 dan Undang-undang nomor 12 tahun 2011.
Lantas darimana kata “Penolakan” itu bisa keluar dari mulut anggota DPRD yang terhormat?
Jika kita memahami benar frasa “untuk dibahas bersama” tentu pada prinsipnya adalah mencapai satu kesepakatan bersama. Dan apabila tidak mencapai kesepakatan bersama terkait hal pembahasan tersebut maka pihak-pihak terkait itu membuat kesepakan bersama untuk solusi yang lain. Tidak boleh ada frasa “Penolakan ABPD” karena rakyat melalui regulasi memerintahkan kepada Kepala Daerah (dan SKPD terkait) bersama DPRD membahas APBD, bukan menolak atau menerima APBD.
Sehingga sangat naif bila dengan alasan “demi rakyat” DPRD memprofokasi “Penolakan” APBD. Justru bagi penulis jika ada anggota legislatif baik itu DPR-RI maupun DPRD menolak APBN maupun APBD adalah oknum-oknum yang tidak cerdas dan tidak dewasa dalam mengemban tugas yang diamanatkan oleh rakyat kepada mereka.
Dan lebih kasarnya, penulis bahkan sampai pada kesimpulan sementara “jangan-jangan ada kepentingan lain oleh oknum-oknum penolak APBD diluar dari kepentingan rakyat”. Tentu ini bisa menjadi pemikiran bersama oleh rakyat. Bisa jadi!!
Sampai disini kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa, frasa “penolakan APBD” memang sudah keliru digunakan sejak awal. Sejak tahun 1960 dan terlebih lagi pada awal dekade terakhir ini.
Sebagai penutup, kami mengutip Seno Gumira Ajidarma bahwa “Di antara lebih dari 90 ribu kata yang terhimpun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tidak ada kata yang lebih sering dimanfaatkan demi keuntungan golongan, ataupun diri sendiri, daripada kata “RAKYAT”. Kalimat ini tertuang dalam tulisan bertajuk “Atas Nama Rakyat” yang pernah diterbitkan oleh majalah Tempo.
Maka berhentilah menggunakan frasa “demi rakyat” untuk kepentingan golongan dan diri sendiri. (**)
Tinggalkan Balasan