Oleh Dr Musa Marengke (Dosen IAIN Ternate & Ketua Bidang Kader Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Maluku Utara)

Mencermati hasil survei INDIKATOR t 20-28 Oktober 2024 yang dirilis 10 November 2024 melalui canal youtube, tentang “Dinamika elektoral Pilkada Maluku Utara pasca tragedy meninggalnya Benny Laos, telah menyita perhatian banyak orang. Dalam politik, survei dipandang sebagai metode ilmiah yang mampu memberikan informasi tentang kecenderungan perilaku pemilih, harapan, sikap dan karakterisik tertentu.

Kehadiran survei digunakan untuk membantu para pengambil kebijakan dalam rangka untuk perbaikan. Bukan menggiring opini, tapi alat ukur dalam menyusun strategi berikutnya. Namun, survei juga bisa menjadi alat propaganda politik atau kerap dijadikan sebagai penafsir baru untuk tercipta dinamika kehidupan politik yang lebih rumit. Tergantung siapa yang memproduksi pedil, siapa yang memegangnya, kemana pedil itu diarahkan, kapan dan waktu mana pedil itu digunakan, itu semua tergantung pada tujuan dan motif.

Menariknya, hasil survei sering (tidak menutup kemungkinan) sebagai alat legitimasi/pembenaran/penolakan atas “kemauan hegemoni”, sebagai alat kampanye untuk memaksa perilaku elektoral pada salah satu calon tertentu.

Akhirnya, independensi dan kejujuran akademik dapat dipertaruhkan di hadapan dinamika politik yang syarat dengan kepentingan. Jika demikian, pertanyaan klasik yang perlu diajukan “ apakah hasil sebuah survei patut dipercaya? Tulisan ini menyoroti validitas internal terhadap metodologis yang dipakai INDIKATOR dalam menakar posisi para calon gubernur pada pilkada Maluku Utara 2024. Pertama, berdasarkan persentase yang dirilis pada 10 November 2024 terlihat risalah survei tersebut diawali dengan tema yang bertuliskan ”Dinamika Elektoral Pilkada Maluku Utara pasca tragedy meninggalnya Benny Laos” sangat menarik untuk dicermati.

Sebab, tema ini berada pada posisi yang tampak (depan) dari instrumen survei. Kata orang “ cinta itu dari mata turun ke hati”. Kita mengatakan “rumah itu cantik dan mewah karena hasil penglihatan yang tampak”. Pandangan pertama pada yang tampak akan memengaruhi keputusan. Dalam penelitian, ada kaidah ilmiah yang mengatur tentang prosedur dan kriteria sebuah Instrumen (alat survei) yang baik. Banyak treatment yang diajarkan untuk mengetahui tingkat validitas internal dari sebuah instrumen survei.

Salah satu di antaranya facevalidity (validitas tampak/tampilan). Fece validity berkaitan dengan bentuk dan desain tampak dari instrument survei. Face validity dapat memberikan informasi dari keseluruhan teknik pengukuran sebuah obyek sekaligus pedoman responden. Validitas ini dianggap penting karena dapat menjelaskan dua kemungkinan, sebagai daya tarik responden dalam menjatuhkan pilihannya dan juga menggambarkan kekuatan konstruk instrumen itu sendiri yang dengan itu mampu memberikan konstribusi data dengan baik.

Syarat dari dua kemungkina ini bekerja secara optimal apabila face validity hanya mengandung pokok-pokok apa yang diukur. Artinya, pesan yang tertulis dalam face validity tidak mengandung multi pesan yang tidak menjadi arus utama survei. Terlepas dari tujuan dan motif survei, tapi membaca tema survei INDIKATOR di atas bisa mengandung multi tafsir, karena membawa dua pesan sekaligus yakni pesan (1), Dinamika Elektoral Pilkada Maluku Utara dan pesan (2), pasca meninggalnya Benny Laos.

Kalau face validty -tema survei, pesan (1) menjadi pokok tujuan survei dan pesan (2) tidak dimasukkan dalam konstruk tema secara bersamaan, face validity sangat anggun dan menarik di mata elektoral pemilih. Lalu pesan (2) menjadi salah satu item pertanyaan yang boleh jadi sebagai temuan yang signifikan dan ini memiliki validitas internal yang baik. Kalau tujuan survei ini ingin melihat tren elektoral pada pesan (2) dan tidak disandingkan dengan calon gubernur yang lain, akan lebih elegan-rasional dan hasil survei tersebut bisa memberikan rekomendasi untuk dilanjutkan pada survei berikut dengan melibatkan para calon 2gubernur dan wakil gubernur. Akan tetapi, bila pesan (1) dan pesan (2) digabungkan, muatan face validtydalam instrumen akan mengandung bias dari sisi pembacaan pihak elektoral pemilih atas jawaban responden dalam instrumen survei.

Logika yang bisa dijelaskan dari kemungkinan bias itu adalah sebagai berikut: “ Sebuah fakta di zaman 70-80 an di Maluku Utara, ketika dekat waktu magrib (di malam Jumat misalnya), orang tua bisanya beres-beres menyiapkan diri menuju masjid untuk shalat. Namun, biasanya waktu-waktu mepet seperti itu banyak hal yang masih berantakan atau belum beres. Seperti anak belum mandi,sapi belum diambil dari kebun, piring masih kotor, minyak lampu belum terisi dan disaat yang sama, ibu atau anak perempuan menyiapkan makanan untuk makan malam. Padahal, sebagian rempah tidak tersedia sehingga harus dibeli di kios tetangga sementara kios pun tutup karena sudah hampir magrib di malam Jumat dan masih banyak lagi hal yang harus cepat diselesaikan sebelum waktu magrib tiba.

Situasi seperti itu tiba-tiba ada tamu bertandang ke rumah. Dengan begitu,,situasi bukan membantu, malah menamba keruwetan karena kedatangan tamu tidak pada waktunya. Cipika cipiki pun terjadi namun secara psikologi sangat merepotkan.

Artinya, fenomena sosial dan fakta politik harus ikut dipertimbangkan. Kalau tidak dipertimbangkan fakta yang ada, bisa terjadi apa yang disebut sebagai kesalahan tipe 1 atau bisa mungkin terjadi kesalahan tipe 2 dalam pengujian hipotesis. Kapan terjadi kesalahan tipe 1 dan tipe 2? ketika peneliti survei menolak hipotesis nol yang sebenarnya benar terjadi (tipe 1) dan menerima hipotesis nol yang sebenarnya salah (tipe 2). Contohnya, apabila kita mengatakan bahwa politik di Maluku Utara faktor etnis menjadi bagian yang perlu diperhitungkan, karena banyak fakta bahwa ada hubungan dan pengaruh di sepanjang perhelatan politik lima tahunan. Ini fakta politik. Kemudian penyurvei menolak fakta ini maka itu terjadi kesalahan tipe 1 dan begitu sebaliknya akan terjadi kesalahan tipe 2, apabila penyurvei mengambil keputusan yang salah untuk menerima hipotesis nol.

Secara ilmiah memang tidak ada kaidah yang melarang untuk menggabungkan pesan (1) dan pesan (2) di atas, karena setiap survei memiliki tujuannya sendiri. Tetapi dalam konteks politik elektoral dan budaya politik di Maluku Utara dipandang “mungkin” terlalu cepat, sebab hasil rilis dari survei tersebut terjadi penyebutan mayoritas dalam kalimat, dan tafsir data meskipun benar. Akan tetapi terkesan lebih pada pesan (2). Ini tidak salah juga karena pesan (2) menjadi variabel yang mau diukur, dan ini sesuai sasaran survei sebagaimana tujuan survei INDIKATOR dalam kata pengantarnya.

Oleh sebab itu, survei ini cenderung hanya menjelaskan pesan (2) melalui pesan (1) untuk mengukur peluang Sherly Tjonda di mata elektoral politik Maluku Utara. Ini bukan salah tapi muatan face validity instrumen survei kurang optimal “representasinya” dalam menghubungkan situasi politik dan elektoral pemilih di Maluku Utara saat ini. Kedua, dijelaskan pada bagian metodologi survei dikatakan “ responden terpilih diwawancari lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih”. Instrumen survei yang dipakai oleh INDIKATOR adalah instrumen wawancara.

Namun, setelah ditelaah lebih lanjut pada item-item pertanyaan survei hanya sebagian kecil mengandung ciri instrumen wawancara yang memadai. Selebihnya lebih pada instrumen observasi bentuk angket likert, sehingga dapat diduga enumerator (petugas survei) hanya melakukan pencatatan dan pengarah responden dalam menjawab pertanyaan yang sudah disediakan oleh INDIKATOR.Terlepas dari benar tidaknya bentuk instrumen yang dipakai (wawancara atau observasi bentuk angkat likert), namun konsistensi sebuah instrumen survei sangat dibutuhkan.

Konsistensi instrumen survei berkaitan dengan validitas data yang dihasilkan. Instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diukur. Alat pengukur yang tepat dapat memberikan infomasi yang baik dan tepat pula. Salah dalam menyusun instrumen dan item pertanyaan survei, salah pula dalam pengambilan data dan analisisnya.

Begitu pentingya instrumen, validitas survei menjadi sebuah keniscayaan. Banyak cara yang bisa mengukur validitas instrumen survei, baik mengukur secara kuantitatif maupun kualitatif, tergantung pada masalah dan bentuk instrumen yang digunakan. Jika wawancara sebagai alat pengumpul data yang utama maka basis penerimaan tingkat kesahihan dan keterwakilan pedoman wawancara atau item-item wawancara dapat dilakukan melalui Expert Judgement. Ini penting untuk memastikan penegasan konstruk instrumen dengan observ survei. Sebagai contoh dalam rilis tersebut,
dituliskan nama-nama kandidat calon gubernur dan wakil gubernur Maluku Utara tahun 2024 secara terang dan jelas. Namun hanya nama Sherly yang tidak tepat. Yang tertulis dalam rilis : Sherly Laos, padahal yang benar adalah Sherly Tjonda. Kelihatan sederhana namun dalam ilmu pengukuran kekeliruan menginterpretasi data dan atau salah penamaan variabel survei yang diukur adalah bagian dari ancaman validitas internal yang tidak terelakkan. Data yang dihasilkan dari kesalahan juga akan memberikan konstribusi yang semakin besar “kemungkinan efek” di balik pesan (2) di atas.

Untuk itu, menginterpretasi sebuah pendefenisian variabel survei perlu diperhitungkan pembacaannnya pada setiap kecenderungan data dari masing-masing pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Maluku Utara. Merujuk pada persentasi pada slite/ bagian Top Of Mind Calon Gubernur dengan tanpa perlakuan pada responden (tanpa pilihan jawaban apapun), namun perlu dianalisis lebih jauh tentang “interpretasi data”. Misalnya kita perhatikan pada data Tren Top of mind bahwa Beny Laos sebelum meninggal dunia basis elektoralnya mencapai 27,1% dan pasca meninggal basis elektoralmya hanya 5,0 %, dan Sherly Tjonda mencapai 28,7%. Data seperti ini lebih tepat menafsir bukan dengan kata terjadi penurunan basis elektoral Beni Laos dari 27,1% menjadi 5,0%, tetapi pembacaannya bisa dimungkinkan menggunakan kata “ perpindahan basis elektoral Beny Laos ke Sherly Tjonda dan terjadi kenaikan basis elektoral Sherly Tjonda pasca pesan (2) tidak begitu berarti. Tetapi kalau disandingkan dengan calon gubernur lain seperti Husein Alting Sjah dan lainnya memang agak mencolok.

Perpindahan basis elektoral bisa disebabkan banyak faktor, di antarnya karena Sherly Tjonda adalah istri dari Beni Laos. Tapi jangan lupa faktor X lainnya seperti ketidakkonsitensinya perumusan nama yang benar para calon yang dalam komunikasi bisa terjadi pengulangan ucapan dan penyebutan “Laos” dalam satu item pertanyaan survei yang bisa membuka ruang popularitas yang lebih luas. Pemindahan basis elektoral tersebut diperkuat dengan topik pembahasan tentang “kemungkinan mengubah pilihan” dengan pertanyaan “seberapa besar atau kecil kemungkinan ibu/bapak mengubah pilihat tersebut?”, responden menjawab 87,4% sangat kecil atau hampir tidak mungkin mengubah pilihan.

Dan topik pembahasan tentang basis pemilihan kuat dan lemah di tiap pasangan calon (simulasi surat suara) dengan pertanyaan” seberapa besar atau kecil kemungkinan ibu/bapak mengubah pilihan tersebut? Jawaban responden 93,1% mengatakan kuat pada Sherly Tjonda dan Sarbin Sehe 5,0% lemah. Artinya, hampir 100% basis elektoral Sherly dan Sarbin Sehe memiliki komitmen tertinggi dari calon gubernur dan wakil gubernur lainnya. Ketiga, katakanlah full wawancara oleh enumerator survei INDIKATOR, tetapi penafsiran data wawancara pun perlu dijelaskan dalam metodologi survei. Quality control terhadap hasil wawancara meskipun kembali lagi kepada responden terpilih, namun hanya menjelaskan sampel random 20% dari total sampel atas hasil wawancara. Bukan pada substansi data yang begitu banyak sudah terentri itu mungkin tidak dianalisis sebelum hasil wawancara tersaji atau tidak disertakan dalam rilis.

Faktor bias wawancara perlu diperhitungkan untuk menjaga validitas internal instrumen survei, diantarnya adalah keterampilan enumerator selama proses wawancara. Enumerator perlu memahami muatan dan arah jawaban dari setiap responden saat terjadi proses wawancara berlangsung, proses analisis kualitatif data survei pun segera dimulai. Di sinilah perlu ada kehati-hatian enumerator dalam menetapkan kategori pilihan responden. 800 responden sebagai sampel survei INDIKATOR di atas umur 17 tahun, variasi pilihan jawaban responden dengan segala karakter jawaban, tingkat ketuntasan jawaban dan kebenaraan jawaban akan terjadi dua kali lipat dari 800 data.

Ini belum termasuk data memo wawancara. Artinya, enumerator INDIKATOR akan mengolah beribu-ribu karakter jawaban dengan mengkategorikan pada posisi pilihan resnponden tertentu. Di sinilah saya belum melihat model analisis pada rilis tanggal 10 November 2024 itu, padahal setiap data survei pasti dan pasti ada data error. Kalau error 3.5% atau 3-5 % yang tersaji dalam rilis sebagai standar kesalahan survei INDIKATOR tapi itu hanya berlaku pada saat proses data sudah bersih yang akan keluar output bersamaan dengan hasil analisisnya tetapi yang tidak terlihat dalam konsideran risalah survei yang dirilis tanggal 10 november 2024 adalah analisis outlier dari hasil entri data responden survei.

Bobot data mentah survei penduduk atau survei ekonomi masyarakat akan berbeda dengan bobot data survei politik elektoral. Survei politik elektoral lebih terbuka perspektif dan daya tarik, sehingga variasi data dengan segala karakter dan segala motifnya tidak terelakkan. Untuk itu, analisis outlier menjadi hal penting dalam menciptakan validitas internal survei yang kuat. Outlier adalah obyek data yang menyimpang secara signifikan dari obyek lainnya dalam suatu kelompok data.

Melalui outlier kita mengetahui tingkat penyimpangan distribusi data instrumen survei, akan diketahui tingkat ekstrimis, (data ekstrim kanan atau ekstrim kiri akan terjadi) Kehadiran analisis outlier adalah meletakkan data ditengah antara dua kutup (antara data ekstrim kanan dan kiri) setelah mengkonfirmasi kembali data lapangan survei. Sebagai contoh dapat kita analisis pada “sentimen terhadap gubernur Perempuan, dengan pertanyaan “seberapa setuju ibu/bapak dengan pertanyaan berikut: “Perempuan boleh menjadi gubernur maluku utara ?”.

Jawaban yang tersedia lima pilihan yaitu : 1. tidak setuju sama sekali, 2. kurang setuju, (3). setuju, (4) sangat setuju dan 5. tidak tahu.5.tidak setuju sama sekali, 4.kurang setuju, 3 setuju, 2. sangat setuju dan (1). tidak tahu.Apabila kriteria penggunakan pertanyaan postif atau negatif maka data yang akan terentri adalah 1,2,3,4,5 atau 5,4,3,2,1. Indikator mana yang bisa kita pakai apabila pilihan responden survei memilih pilihan jawaban 3 atau 4?. Ciri setuju atau sangat setuju ukurannya apa, karena keduanya beririsan yang sangat besar dalam pikiran responden saat menjatuhkan pilihan jawabannya. Ini hal abstrak yang ingin dikongkritkan dalam bentuk angka-angka, karena menyangkut pikiran dan perasaan yang diukur maka batas-batas pasti secara psikologis tidak akan ditemukan secara jelas dan tegas.

Alasan inilah bisa jadi responden melingkari jawaban 3, padahal di pikirannya 4 atau sebaliknya responden melingkari jawaban 4, padahal di pikirannya 3 dan atau bisa mungkin dengan alasan hal abstrak yang ditanyakan lalu dibutuhkan jawaban konkrit dalam bentuk angka, ada kemungkinan enumerator atau peneliti survei bisa menafsir pilihan yang sudah dijatuhkan pada pilihan jawab tertentu, apakah digeser ke kanan atau kekiri. Tergantung tujuan dan motif survei di satu sisi dan fenomena sosial dan fakta politik di sisi lain.

Keadaan inilah saya katakan perlu analisis data outlier. Kita bisa bayangkan andaikata 800 sampel INDIKATOR diperkirakan 80-90 % responden menjawab pilihan jawaban 4 misalnya atau 1, dapat dipastikan output data yang dihasilkan adalah data ekstrim (kanan atau kiri), sementara data ekstrim adalah data penyimpangan. Di sinilah perlunya analisis outlier data survei INDIKATOR atau perlu ada dalam rilisnya. Dengan demikian,
validitas Internal menjadi ukuran pokok yang menentukan analisis selanjutnya dalam meneropong sebuah dialektika politik. Dialektika politik akan selalu menunjukkan tren yang dinamis-progresif di setiap saat, tentunya kedinamisan dialektika itu harus diimbangi dengan kemampun konstruk instrumen survei yang handal atas nama kebenaran ilmiah dalam mengungkap fenomena dan fakta politik elektoral di Maluku Utara.

** Wallahu’alam bissawab**