Soal Pemberian Rp6 Miliar, KPK Perlu Garap UJ dan Haji Hijra

Mantan Kepala PUPR Malut, Saifuddin Djuba.

SOFIFI-pm.com, Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) RI mestinya tindaklanjuti serangkaian keterangan pengakuan pemberi uang oleh sejumlah saksi dalam sidang kasus dugaan suap dan gratifikasi Terdakwa Abdul Gani Kasuba (AGK).

Akademisi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) Ternate, Iskandar Joisangaji mengatakan, keterangan saksi menjadi pintu masuk bagi penyidik KPK memeriksa pihak terkait soal motivasi pemberi uang apakah memenuhi unsur pidana suap atau tidak.

Hal itu untuk meluruskan pandangan publik bahwa KPK tidak ada tebang pilih dalam menjerat pelaku lain dalam kasus suap AGK yang disinyalir menyeret banyak pihak.

Salah satunya, mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Maluku Utara, Saifuddin Juba yang disebut menerima sejumlah uang dari PT Hijrah Nusatama.

Saifuddin bersama Daud Ismail disebut bersama-sama mendatangi kantor PT Hijrah beralamat di Kelurahan Gamtufkange, Kota Tidore, Maluku Utara untuk mengambil uang. Total uang yang diambil senilai Rp6 miliar.

Menurut Iskandar, Saifuddin Djuba dan Direktur Utama PT Hijrah Nusatama, Hadiruddin Haji Saleh harus diperiksa penyidik anti rasuh tersebut. Tujuannya mengungkap fakta sebenarnya motivasi pemberian tersebut.

Dijelaskan, pemberian pihak swasta atau rekanan atas perintah gubernur sebagai penyelenggara negera melalui bawahannya tidak dapat dibenarkan secara hukum.

“Mereka harus diperiksa supaya membuat fakta-fakta yang terungkap dalam sidang menjadi terang, apakah pemberian itu dapat dimaknai sebagai tindak pidana suap atau tidak. Dan, itu kewenangannya penyidik KPK,” ungkap Iskandar, Rabu (14/8/2024).

Jika pemberian tersebut alasanya untuk bantuan terhadap Terdakwa AGK, Iskandar menyebut logisnya tidak dapat dibernakan.

Dosen Hukum UMMU Ternate itu meyakini jika pemberian tersebut dikualifikasi dalam tindak pidana suap, maka sanksi yang dilekatkan penyidik KPK terhadap Saifuddin dan Hadiruddin yakni pasal 5 atau pasal 13 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Terkait pemberian uang tersebut terungkap dalam berita acara pemeriksaan (BAP) Direktur Utama PT Hijrah Nusatama, Hadiruddin Haji Saleh, dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK pada sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan terdakwa mantan Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba, Kamis 1 Agustus 2024 lalu.

Hadiruddin menerangkan bahwa pada 2020-2021, pihaknya menangani pekerjaan peningkatan jalan Saketa-Dahepodo sepanjang 16 kilometer. Selain itu, pada 2022-2023, juga menangani pekerjaan jalan multiyears di ruas yang sama.

Dari situlah, Hadiruddin mulai dimintai uang oleh Sairudin Djuba, saat itu menjabat Kepala Dinas PUPR dan Kepala Bidang Bina Marga Daud Ismail.

Cara mereka minta uang kepadanya di setiap setelah pencairan uang proyek. Daud Ismail alias Au datang ke kantornya. Tercatat setiap bulan sebanyak tiga kali Daud Ismail meminta uang untuk keperluan Abdul Gani Kasuba.

Uang yang ia berikan kepada Saifuddin Djuba dan Daud Ismail ini katanya untuk memenuhi permintaan Abdul Gani Kasuba. Setiap mereka datang, Hadiruddin memberikan uang 50 sampai 60 juta dalam bentuk cash.

“Sehingga ditotalkan pekerjaan proyek di PUPR sampai kontrak berakhir di Desember 2023, uang yang diberikan sekitar 4,5 miliar. Ini untuk proyek peningkatan jalan Saketa-Dahepodo dengan nilai pekerjaan 50 miliar,” kata JPU Andry Lesmana saat membacakan BAP Hadiruddin.

Sedangkan untuk proyek multiyears peningkatan jalan Saketa-Dahepodo pada 2023 senilai Rp43 miliar, Saifuddin Juba dan Daud Ismail juga meminta uang senilai Rp1,5 miliar.

Hadiruddin bersedia memberikan uang tersebut karena jika menolak atau belum memberikan, maka Daud Ismail dan Abdul Gani Kasuba akan mempersulit ketika dirinya mengajukan pencairan uang pekerjaan proyek.

Majelis hakim kemudian menanyakan kepada AGK uang tersebut diterima sekaligus atau bertahap?

Namun AGK membantah dan menegaskan tak pernah menerima uang tersebut.

“Mohon maaf yang mulia, tidak sempat terima (uang) itu,” jawab AGK.

“Tidak apa-apa bantahan saudara,” potong ketua majelis.

Komentar

Loading...