TERNATE-PM.com, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Malut akan mengambil sikap tegas terhadap daerah yang memangkas anggaran pengawasan pilkada 2020 secara sepihak. Ada dua daerah yang menjadi perhatian Bawaslu Malut yakni Tidore Kepulauan (Tikep) dan Halmahera Barat (Halbar). Pasalnya, sejak Bawaslu Malut mengajukan keberatan pemangkasan anggaran pengawasan di Bawaslu ke Menteri Dalam Negeri (Mendagri) melalui Bawaslu RI soal, namun sampai saat ini belum ada kejelasan.

Di  Tikep, anggaran pengawasan yang diusulkan Bawaslu senilai Rp 7 miliar, namun yang diakomodir dalam APBD induk 2020 hanya Rp 4 miliar atau dipangkas senilai Rp 8 miliar. Begitu juga dengan Halbar, nilai anggaran yang diusulkan Rp 9 miliar, tetapi diakomodir hanya Rp 5 miliar.

Ketua Bawaslu Malut Muksin Amrin kepada wartawan Posko Malut, Selasa (7/1/2020) mengatakan, minimnya anggaran pengawasan di Bawaslu Tikep dan Halbar tersebut akibat dari keputusan sepihak Pemkot dan Pemkab.

Menurut Muksin, Pemprov Malut  sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat, seharusnya mengevaluasi dokumen APBD induk kabupaten kota yang tidak mengakomodir anggaran Bawaslu sesuai dengan NPHD.  “Informasi yang diterima,  Mendagri sudah menyampaikan ke Pemprov Malut melalui gubernur agar mengevaluasi APBD dua kabupaten/kota tersebut. Sayangnya, Gubernur Abdul Gani Kasuba sepertinya tidak menindaklanjuti apa yang diminta kemendagri,” katanya. 

“Pada prinsipnya, tanggung jawab pilkada di daerah itu berada pada gubernur. Sebab dalam mekanismenya, gubernur punya kewenangan untuk bisa mengevaluasi APBD,” tuturnya. Lanjut Muksin, kalaupun nantinya dalam upaya evaluasi untuk meminta dikembalikannya anggaran sesuai pada kesepakatan awal tidak diindahkan, maka Pilkada di dua daerah tersebut terancam bisa terhenti di tengah jalan atau bisa ditunda.  “Kalau gubernur serius mengevaluasi APBD dua kabupaten/kota ini, pasti sudah clear. Namun kalau tidak diindahkan, maka Pilkada terancam bisa terhenti di tengah jalan,” tutur Muksin.

Sementara Direktur Perkumpulan Demokrasi Konstitusional (Pandecta), Hendra Kasim menuturkan, dalam rangka tugas pembantuan, Gubernur dapat melakukan koordinasi dan supervisi dalam maksud mewakili pemerintah dalam hal memastikan jalannya pemerintahan di daerah. “Dalam hal persoalan NPHD Tikep dan Halbar yang mengubah nilai kesepakatan bersama antara penyelenggara pemilu itu, gubernur bisa dimungkinkan melakukan koordinasi. Namun, hal tersebut tidak sampai mengevaluasi APBD, karena yang berwenang melakukan evaluasi terhadap APBD adalah Kementerian Dalam Negeri.

Masih soal NPHD, nilai yang disepakati hingga ditandatangani antar Pemda dengan penyelenggara pemilu, itukan tidak hadir begitu saja, ada proses pembahasan bersama antara penyelenggara pemilu dengan pemerintah daerah (Bupati/Walikota dan DPRD), yang dilakukan berulang kali. “Menurut kami perubahan nilai NPHD sepihak yang terjadi di dua daerah tersebut menunjukkan ketidakpahaman pengelolaan keuangan daerah, serta pemahaman urgensi pelaksanaan Pilkada,” ungkap Hendra. 

Hendra juga mengatakan, tanggung jawab mensukseskan Pilkada adalah tanggung jawab seluruh stakeholder termasuk pemerintah daerah. Karena hajatan Pilkada sejatinya adalah hajatan daerah. “Penyelenggara pemilu hanya ditugaskan UU untuk melaksanakan saja. Olehnya itu, seharusnya anggaran daerah diprioritaskan untuk penyelenggaraan Pilkada bagi daerah yang menyelenggarakan Pilkada,” tutupnya. (wm02/red)