DUNIA mengenal dua naturalis sepanjang abad: Charles Darwin dan Alfred Russel Wallace. Keduanya bersimpang arah dalam teori evolusi. Hingga suatu saat, Wallace singgah di Pulau Ternate. Dalam surat bertahun 1858 kepada seorang temannya, Alfred Russel Wallace yang juga seorang perwira militer, menulis bahwa ia melihat seekor serangga yang warnanya hampir tak terlihat di tanah berlumpur tempat ia berada.

Dari situlah teori evolusi diperkuat dan menempatkan Charles Darwin sebagai pionir — dengan bahan-bahan penelitian Wallace. Kehidupan Wallace memang menarik, sebagai perwira militer ia bertugas di wilayah-wilayah pendudukan. Namun panggilan hatinya untuk meneliti kehidupan juga tak bisa ia abaikan. Berkarib dengan Charles Darwin pencetus teori evolusi – yang bahan-bahan penelitiannya banyak disuplai dirinya – Wallace seperti keranjingan menerabas hutan dan tinggal berhari-hari di dalamnya.

Dari kepulauan yang kini berada di wilayah  Indonesia dan Malaysia, ia terus mengumpulkan hasil penelitiannya. Ia tak seberuntung Darwin yang didukung komunitas ilmuwan, yang membuatnya didukung secara finansial dalam penelitiannya. Wallace harus tertatih-tatih membiayai penelitian. Ia bahkan harus menjual koleksi temuannya ke museum atau kolektor pribadi di Inggris untuk membiayai hidupnya selama di hutan.

Wallace menghabiskan hampir satu dekade meneliti satwa liar di rantai kepulauan terpencil di timur Sumatra, yang pada waktu itu adalah Hindia Belanda. Ia juga mempelajari dampak dari batas geografis alami pada dunia, yang kemudian dinamai The Wallace Line. Dia mengumpulkan puluhan ribu spesimen alami yang akan membantu mengarah pada perumusan teorinya.

Selama ekspedisinya, Wallace juga ke Indonesia Timur. Ia pernah setahun tinggal di Maros dan yang paling epik, saat ia terhenti di Pulau Ternate dan menyewa sebuah rumah sebagai pangkalan penelitian sekaligus tempat tinggal.

Pulau Ternate bagi Wallace adalah sebuah pulau vulkanik nan subur, yang menantangnya untuk sejumlah penelitian flora dan fauna. Di situlah ia banyak menulis makalah ilmiah dan surat-suratnya. Dari Ternate ia mengirim surat pada 9 Maret 1858 ke Darwin bersama dengan makalah terperinci yang menjelaskan teorinya.

Darwin telah sampai pada kesimpulan yang sama pada tahun-tahun sebelumnya, dan didukung oleh banyak temuan Wallace. Mereka bersama-sama menerbitkan sebuah makalah yang memperdebatkan teori evolusi. Darwin menerbitkan The Origin of Species setahun kemudian, yang menjadi sensasi dan mendorongnya untuk terkenal.

Selama perjalanannya, Wallace memanfaatkan setiap waktu yang dihabiskannya di sebuah kota untuk mengirim temuannya kepada ilmuwan lain untuk ditulis dalam jurnal ilmiah. Dia juga mencatat temuannya dalam jurnal yang ia tuangkan dalam The Malay Archipelago, sebuah buku bio-geografis yang menguraikan penemuan dan perjalanan Wallace di pulau-pulau nusantara.

Saat ini, pulau-pulau ini berada di kedaulatan Malaysia atau Indonesia. Penelitian Wallace disebut-sebut sebagai “Bima Sakti” yang belum sepenuhnya ditemukan penjelajah Eropa saat itu. Wallace adalah penemu harta karun yang tersimpan dalam relung kepulauan nusantara.

Wallace mengkatalogkan tanaman dan hewan. Bahkan ia adalah pencicip durian sejati, dengan menyebutnya sebagai puding kaya mentega, yang kaya rasa dengan almond, “Rasanya berbaur yang mengingatkanku kepada krim-keju, saus bawang, sherry cokelat, dan keganjilan lainnya,” tulisnya.

Meskipun berkali-kali Wallace menulis kekayaan alam Ternate, namun wisatawan yang berkunjung ke sana tak pernah diceritakan mengenai Wallace. Justru popularitas Ternate dibangun sebagai pulau yang diperebutkan Portugis, Spanyol, dan Belanda – bahkan Inggris.

Ternate juga dikenal memiliki wilayah yang bernama Morotai, pangkalan militer Amerika Serikat-Australia dalam Perang Pasifik. Rupanya, kesadaran mulai tumbuh. Pada 2019, sudah dimulai tur untuk menelusuri jejak kehidupan Wallace di Ternate.

Tur ini tak bakal menjemukan. Pasalnya wisatawan tak hanya diajak menelusuri tempat, tapi mencari apa yang didapatkan Wallace, seperti cenderawasih, burung lokal yang spektakuler. Burung itu dapat ditemukan mendiami pulau-pulau tetangga Halmahera dan Bacan, dinamai Semioptera wallacii. Ternate merupakan bagian dari perjalanan Wallace yang berhasil mengumpulkan lebih dari 100.000 spesimen, yang ia jual ke  ke museum dan kolektor Inggris.

Sayangnya, tidak ada plakat yang menghormati Wallace di Ternate. Menurut sejarawan mengenai Wallace, Dr. George Beccaloni, kemungkinan rumah di mana Wallace tinggal dan bekerja sudah tidak ada lagi. Namun, Pulau Ternate memang mempesona seperti catatan Wallace, “Pulau itu indah dari berbagai sisi dan memiliki gunung berapi yang terus menerus mengeluarkan asap, tenang dan indah.”

Di Pulau Ternate, benteng-benteng tersebar di pusat kota. Sebagian terawatt dengan baik, sebagian lagi tinggal puing-puing. Terdapat pula Fort Oranje, benteng pertama VOC di Indonesia dan dijadikan pusat perdagangan Belanda, sebelum memindahkan markasnya ke Batavia.

Nah, kayaknya antara Dinas Pariwisata Ternate dan agen perjalanan Eropa harus berlomba atau bahkan bersinergi menghidupkan jejak Alfred Russel Wallace di Pulau Ternate. (TMP)